OPINI POLITIK

Golput

154
×

Golput

Sebarkan artikel ini

Bermula dari gerakan moral di era 1970-an, tren golput nyata tetap terjadi hingga pemilu 2019 kemarin. Beberapa faktor yang menjadi penyebab ialah mulai dari rasa apatis pengguna hak suara hingga rasa kecewa masyarakat yang timbul akibat kasus-kasus korupsi yang melanda negeri ini.

Golput, akronim dari golongan putih, adalah peristilahan yang merujuk pada ketidaksediaan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya pada suatu pemilihan umum. Sejarah mencatat bahwa gerakan ini telah ada sejak puluhan tahun yang lalu, yakni sekitar tahun 1970-an berawal dari gerakan mahasiswa dan pemuda yang memprotes proses penyelanggaraan pemilu yang dilangsungkan pada saat itu. Golput nyatanya tetap berlanjut dan menjadi polemik hingga kini.

Faktor Penyebab Golput

Banyak Pengguna hak suara merasa enggan untuk berpartisipasi pada pemilu 2019 kemarin karena sudah terlalu kecewa dengan kasus-kasus korupsi yang menerpa pejabat republik ini. Belum lagi dengan calon (capres dan cawapres dan kepala dearah) yang diusung oleh koalisi partai cenderung dengan orang/calon yang sama, dan tidak sedikit dari mereka memiliki rekam jejak yang negative, mulai dari dengan tuduhan pelanggar HAM hingga mantan napi Korupsi. Selain dua faktor tersebut diatas, yang tidak kalah menariknya ialah sistem presidential threshold. Secara singkat sistem ini dapat digambarkan sebagai sistem yang pada intinya hanya melahirkan dua pasangan calon, baik calon petahana maupun calon yang penantang. Jika hanya terdapat dua pasangan calon tentu para pemilik hak suara merasa enggan berpartisipasi dalam menggunakan hak suaranya, karena merasa tidak ada opsi untuk memilih calon yang lain. Berbeda halnya jika terdapat lebih dari dua pasangan calon. Sistem demokrasi seperti inilah yang dikhawatirkan akan menyababkan lahirnya political corruption.

Political corruption dapat terjadi karena sistem demokrasi tentu memakan dana yang besar. Mulai dari biaya kampanye, mobilisasi masa pendukung, hingga lobi-lobi politik. Sebagai contoh, jika pasangan calon A, ingin menjadi seorang pemimpin yang berpartisipasi dalam kontestasi politik tentu akan mengelontorkan dana yang tidak sedikit. Untuk mengumpulkan dana tersebut butuh sokongan dari berbagai pihak, tentunya dengan bergening politik, dalam peristilahan “siapa mendapatkan apa”. Pihak penyokong dana tentu mengharapkan sesuatu dari dana yang digelontorkan tersebut, mulai dari proyek bersekala besar, hingga izin-izin pengelolaan eksploitasi sumber daya alam, yang sudah pasti merugikan dari segi perekonomian negara.

Lalu, Apakah Golput Itu Hak?

Pengertian pelanggaran adalah “overtredingen” atau pelanggaran berarti suatu perbutan yang melanggar sesuatu dan berhubungan dengan hukum, berarti tidak lain dari pada perbuatan melawan hukum. (Wirjono Prodjodikoro:2003) Norma merupak produk pemikiran manusia yang sifatnya deliberatif. Sesuatu menjadi sebuah norma kalau memang dikehendaki menjadi norma, yang penentuannya dilandaskan pada moralitas maupun nilai-nilai yang baik. Menurutnya, pertimbangan-pertimbangan yang melandasi sebuah norma bersifat metayuridis. Norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak. Norma-norma tersebut akan menjadi mengikat masyarakat, apabila norma tersebut dikehendaki menjadi hukum dan harus dituangkan dalam wujud tertulis, dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan memuat perintah. (Hans Kelsen, Jurnal: Putera Astomo Hal. 33)

Dari penjelasan diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa,  pelanggaran norma hukum merupakan perbuatan yang melanggar suatu norma, yakni norma tertulis yang mengikat masyarakat yang norma itu dikeluarkan oleh lembaga berwenang. Maka muncul pertanyaan, apakah perbuatan golput yang dilakukan oleh individu dan kelompok merupakan pelanggaran norma? Jawabannya sudah tentu tidak.

Pasal 515 UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) menerangkan bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.

Menurut Romi Asmara, seorang ahli hukum mengatakan: “bila dari kejian hukum positif, tidak ada dasar yang menyatakan Golput merupakan pelanggaran hukum. Karena pelanggaran sejatinya sudah dalam bentuk kewajiban maka aka nada sanksi bagi setiap pihak yang tidak mentaatinya. Sedangkan golput masih dalam karidor hak warga negara untuk menggunakan hak pilihnya, baik yang hak pilihnya digunakan ataupun tidak”.

Romi Asmara juga menambahkan, “Golput sudah menjadi polemik sejak lama. Polimaknya dimana, ketika para pihak yang lebih memilih untuk Golput justru disalahkan tanpa sebab. Secara empiris, salah satu penyeb adanya pihak-pihak yang Golput dikarenakan krisis kepercayaan terhadap pemerintah, kemudian negara tidak mampu menjamin kepentingan hukum warga negaranya”. (wawancara narasumber, 22/6/2021)

Dikutip dari ICJR, Penggunaan ancaman pidana bagi ajakan golput pada masa pemilu sebenarnya sudah diatur di dalam ketentuan Pasal 515 UU Pemilu. Namun, dengan memperhatikan unsur di dalam Pasal 515 UU Pemilu, ajakan golput yang dapat dipidana sudah dibatasi dengan tegas syarat-syaratnya. Pertama, bahwa ajakan tersebut dilakukan pada saat pemungutan suara dan Kedua, bahwa ajakan tersebut dilakukan dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih. (https://icjr.or.id/ 22/6/21)

Jelas bahwa setiap individu atau pun kelompok yang melakukan golput atas kemauannya sendiri bukan merupakan pelanggran norma hukum. Hal ini sudah menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintan, terutama Komisi Pemilihan Umum dan Partai Politik. Sebagai ulasan, menurut pasal 11 Ayat (1) Huruf (a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, fungsi partai politik: “memberikan pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Sudah selayaknya partai politk dengan giat untuk menggaung akan pentingnya penggunaan hak suara yang baik dan benar, agar terciptanya iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat.

Penulis, Jossua Donni Wiliarto Hutapea dan Taufiek Ganeis Hidayat adalah Mahasiswa Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara, dan juga Advokat Muda berbakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *