Di mana ada kematian, di sana ada Anita, janda beranak satu yang bibir pipihnya masih menyisakan kecantikan masa belia. Ia pasti datang meski tanpa diundang.
Di dusun Tanjung ini, kabar baik dihimbaukan, kabar buruk berhamburan. Maka, bilamana kabar kematian dimaklumatkan, orang-orang akan bergegas menuju rumah mendiang. Begitu pula Anita.
Tapi ia tidak bakal ikut-ikutan sibuk meramu daun serai, pandan wangi dan minyak kesturi sebelum jenazah dimandikan, tidak pula memetik bunga-bunga guna ditabur di tanah makam seperti kesibukan para pelayat perempuan.
Anita hanya akan mengisi tempat yang telah tersedia, di samping pembaringan mendiang, lalu meratap sejadi-jadinya, sekeras-kerasnya, sepilu-pilunya.
Duduk, berdiri, melonjak-lonjak, menghentak-hentakkan kaki, berputar-putar mengelilingi jenazah sambil terus menyebut-nyebut dan memuji tabiat baik mendiang semasa hidup.
Ada irama di suara tangisnya, kadang seperti melantunkan sebuah nyanyian yang memiuh-miuh ulu hati. Lagu kematian itu serasi dengan entak kakinya. Ratapan, tarian, nyanyian, bersekutu jadi satu.
Remuknya perasaan tuan rumah tidak mampu menandingi dalamnya kepiluan Anita, tukang ratap yang telah mahir menanak risau itu. Mendengar ratapannya, mungkin Anita lebih berduka ketimbang keluarga mendiang.
Padahal ia bukan siapa-siapa, hanya tukang ratap yang terbiasa mendulang perih rasa kehilangan di setiap kematian yang dijenguknya.
Ada dua penyebab yang membuat orang-orang gampang mengingat dusun Tanjung. Sebab pertama, perempuan paruh baya bernama Anita, tukang ratap itu. Namanya masyhur berkat kepiawaian.
Kerap ia dijemput-antar oleh karib kerabat yang sedang tertimpa musibah kematian. Mereka datang dari dusun-dusun tak terduga, guna memohon kematian itu diratapi. Bagi mereka, kematian kurang khidmat tanpa ratapan Anita.
Sebab kedua, Tanjung gampang dikenang karena dusun itu pabrik jodoh. Bila tuan sedang bimbang untuk menjatuhkan pilihan perihal gadis mana yang bakal tuan persunting, barangkali tak ada salahnya tuan berkunjung ke Tanjung.
Bisa jadi tuan bakal abai dengan pilihan-pilihan tuan sebelumnya. Sebab, di dusun Tanjung, meminang perempuan dalam keadaan mata terpicing pun dijamin tidak salah pilih.
Sembilan dari sepuluh laki-laki pencari jodoh yang datang ke Tanjung berhasil menggondol pasangan. Kalaupun ada yang gagal, sebabnya pasti bukan pada pihak perempuan, tapi karena pihak laki-laki tidak sanggup membayar uang pinangan yang terbilang mahal.
Harga pinangan termurah untuk gadis Tanjung cukup untuk menebus empat bidang ladang yang tergadai. Konon, hidup orang-orang Tanjung terselamatkan oleh pinangan demi pinangan.
Memiliki anak perempuan di dusun Tanjung seperti menyimpan celengan gemuk yang sewaktu-waktu bisa dibanting-empaskan, tentu setelah pinangan datang. Dan, celakalah setiap keluarga yang tidak punya anak perempuan. Mereka terpuruk di kerak kemelaratan.
Sejak dulu kecantikan gadis-gadis Tanjung belum terkalahkan oleh perempuan-perempuan di dusun mana pun. Dusun Tanjung memang bukan daerah subur penghasil Damar atau Gambir sebagaimana dusun-dusun lain.
Tanahnya gersang, padi tak menjadi, hampa sebelum berbuah. Tapi Tuhan memberi anugerah dari pintu yang tak diduga-duga. Bayi-bayi perempuan selalu terlahir dengan kecantikan yang menakjubkan.
Mereka tumbuh dan mendewasa menjadi gadis-gadis yang memiliki bibir pipih seperti bibir Anita, pipi merah merona, kulit mulus seperti kulit orang Jepang, hidung mancung seperti hidung orang Arab.
Postur tubuh tinggi, langsing, sintal seperti bintang film. Bila bintang film yang kerap mereka lihat di layar tivi itu tampak anggun dan molek karena polesan bedak yang berlapis tujuh, maka kecantikan gadis-gadis Tanjung mukjizat yang jatuh dari langit, bawaan sejak dari rahim.
Tanpa polesan bedak dan lipstik pun wajah mereka sudah memancarkan aura kecantikan yang mencengangkan. Siapa tak tergiur?
Dusun Tanjung semisal hamparan ladang luas tempat bersitumbuhnya bunga-bunga anggun segala rupa, tiada pernah langkas, meski kumbang-kumbang datang silih berganti.
“Bagaimana Anita? Sekarang atau tidak sama sekali!” desak Datuk Pucuk, penghulu suku Pilawas, suku Anita.
Seorang lelaki datang hendak meminang Laila, anak gadis Anita. Satu-satunya.
“Tidak! Biarkan dia melanjutkan sekolah,” sangkal Anita. Tegas.
“Sekolah? Kau akan menguliahkan Laila dengan upah meratap? Berapa banyak kematian harus kau tunggu?”
“Terimalah pinangan itu! Hidupnya bakal selamat dengan lelaki itu. Juga hidupmu. Tak perlu kau menunggu-nunggu kabar kematian lagi.”
“Tak ada kematian pun aku tetap meratap!”
Memandang raut wajah Laila serasa menatap Anita. Ada jernih mata Anita di jernih matanya. Ada pipih bibir Anita di pipih bibirnya. Ada alis Anita di alisnya (tebal, hitam, nyaris bertaut).
Tapi, bakal adakah malang nasib Anita di malang nasibnya? Anita tidak mau itu terjadi. Laila tak boleh kawin muda.
Jangan sampai ia terbujuk godaan para pencari jodoh yang berhamburan ke dusun ini, seperti berhamburannya orang-orang selepas mendengar kabar kematian.
Anita tidak rela Laila hanya menjadi sebatang tebu yang disesap rasa manisnya, setelah jadi ampas, dicampakkan begitu saja, seperti yang dialaminya di masa lalu.
Waktu itu Anita baru lulus tsanawiyah, Nurman meminangnya. Mentah-mentah ia menolak pinangan ganjil itu. Tapi siapa berani melawan kehendak Datuk Pucuk?
Satu-satunya keluarga Anita yang tersisa. Dengan berat hati ia mengubur segala impian. Rela ia diperistri Nurman, lelaki yang sebenarnya lebih patut menjadi ayahnya. Anita daun muda ketiga yang takluk di tangan toke Damar itu.
Dari gunjing yang berserak di dusun Tanjung, ada kabar tak sedap, dengan perjodohan itu Datuk Pucuk sesungguhnya tidak hendak menyelamatkan hidup Anita, kemenakannya itu, tapi hendak menyelamatkan hidup anak-bininya sendiri.
Belakangan Anita tahu, adik kandung mendiang ibunya itu sedang terlilit utang, dan ia membayarnya dengan menyerahkan Anita pada Nurman.
Hanya berselang beberapa bulan setelah kelahiran Laila, Nurman lagi-lagi memetik daun muda. Dipersuntingnya Raina, sahabat karib Anita sewaktu bersekolah dulu.
Tiada alasan yang absah saat Nurman meninggalkan Anita. Barangkali hanya karena lelaki itu sudah hilang gairah sebab tubuh Anita tak montok lagi. Ia sibuk mengurus anak, lupa merawat tubuhnya sendiri.
Kabar terakhir yang didengar Anita, suaminya pergi karena memang begitulah perjanjiannya dengan Datuk Pucuk. Ia sanggup membayar pinangan seharga dua ekor sapi jantan, hanya untuk mencicip ranum tubuh Anita.
Utang-utang Datuk Pucuk lunas, Anita punya anak, Nurman pergi, dan kawin lagi. Sejak itu Anita hidup sendiri, menghidupi anak tanpa suami. Laila yatim meski ayahnya belum mati.
Semasa bersekolah dulu, Anita bintang kasidah. Napasnya panjang, suaranya tinggi, nyaring. Bila tampil di panggung, lengking suaranya membuat para penonton melonjak-lonjak girang, lebih-lebih kalau ia menyanyikan ya rabbi barik.
Tartilnya benar-benar seperti tartil orang Arab, cengkok suaranya membuat penonton terenyak dan berdecak kagum.
Tapi sejak menjadi istri orang, nama Anita seolah menguap, tak pernah lagi ia tampil di atas panggung, kalah bersaing dengan biduan-biduan muda yang suara dan penampilan mereka lebih cemerlang.
Anita kehilangan banyak hal, empat bidang ladang peninggalan orangtuanya dikuasai Datuk Pucuk, kehilangan suami, dan tentu saja; kehilangan ranum tubuhnya.
Mak Sima, sesepuh suku Pilawas merasa terpanggil untuk meringankan beban Anita. Ia mewariskan kepandaian meratap pada janda muda itu. Setidaknya ia bisa membesarkan Laila dari upah meratap.
“Kau sudah punya syarat-rukunnya, Anita. Akan lekas mahir,” bujuk Mak Sima waktu itu.
“Aku sudah tua. Kau penggantiku! Jadilah tukang ratap yang bisa menyelami lubuk kepiluan lebih dalam dari selaman keluarga mendiang.”
“Bukankah kau sudah terlatih menanak risau?”
Setelah berhari-hari terkapar di tempat tidur akhirnya lelaki itu meninggal juga. Tak ada yang tahu penyakit apa yang dideritanya. Belakangan ini ia kerap batuk-batuk kering.
Tiga dari lima kali batuknya disertai muntah. Sebesar jeruk purut gumpalan darah keluar dari mulutnya. Susah ia tidur karena batuk-batuk keras itu tak kunjung reda, hingga tubuhnya terkulai tak bertenaga, kencing dan berak dipacakkannya saja di kasur.
Raina, istrinya, sudah berkali-kali membujuk agar ia mau dibawa ke rumah sakit, tapi ia menolak. Ini penyakit tua, tak akan lama, rintihnya.
Kini jenazahnya sudah dimandikan, sudah pula diyasinkan, dishalatkan, tinggal menunggu waktu sebelum diusung ke pekuburan. Tapi sebagaimana kebiasaan orang-orang dusun Tanjung, kurang sempurna upacara kematian jika belum diratapi.
“Bagaimana mungkin Anita meratapi orang yang telah membuat ia meratap seumur-umur?” tanya Raina.
“Tak usah cemaskan soal itu. Bila kematian ini tak diratapi, apa kata orang nanti?” bujuk Wan Uncu, kakak laki-laki Raina.
“Anita harus dijemput! Ia satu-satunya tukang ratap di dusun ini. ”
Sejatinya Anita tidak pernah berdoa memohon kematian meski hidupnya sangat bergantung pada kematian. Untunglah hari ini datang juga kabar buruk itu.
Ia akan meratap sebagaimana lazimnya, beroleh upah, lalu pulang. Meski yang akan diratapinya mendiang Nurman, bekas suaminya, lelaki yang telah menghancurkan hidupnya. Ada tak ada kematian, Anita tetap meratap. Itu karena ulah Nurman!
Di samping pembaringan mendiang, Anita meratap sekeras-kerasnya, sepilu-pilunya, sejadi-jadinya. Tak ada yang tahu apakah Anita benar-benar menyelam di kerak kepiluan, atau dalam ratap itu ia justru menyimpan amarah yang tak terkata.
..