Example floating
Example floating
Perspektif

Tragedi Sumatera 2025: MDI Tekankan Tanggung Jawab Pemerintah dalam Krisis Hidrometeorologi

6
×

Tragedi Sumatera 2025: MDI Tekankan Tanggung Jawab Pemerintah dalam Krisis Hidrometeorologi

Share this article

Medan, 29 November 2025 – Tragedi banjir bandang dan longsor yang melanda Sumatera pada November 2025 kembali membuka mata publik bahwa bencana ini bukan hanya disebabkan oleh hujan ekstrem, tetapi juga akibat akumulasi campur tangan manusia yang merusak keseimbangan ekologis. Matra Diagnostika Indonesia (MDI) menegaskan bahwa kerusakan lingkungan, alih fungsi lahan, dan lemahnya pengawasan tata ruang adalah faktor kunci yang memperparah dampak bencana di tiga provinsi: Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh.

MDI melalui Principal Investigator (PI) Dido menjelaskan bahwa wilayah-wilayah dengan korban jiwa terbanyak di Sumatera Utara adalah daerah yang mengalami degradasi lingkungan bertahun-tahun. Pembukaan lahan tanpa kontrol, pembangunan di tepi sungai, dan pemadatan permukiman di zona rawan longsor membuat masyarakat semakin rentan. Kerusakan yang terlihat hari ini bukan muncul dalam semalam. Ini hasil dari proses panjang pengabaian terhadap daya dukung alam, ujar Dido.

Di Sumatera Barat, banjir bandang yang terjadi setelah bendungan Pauh jebol menjadi contoh nyata bagaimana kelalaian manusia memperburuk dampak hidrometeorologi. Kegiatan penambangan, penggundulan hutan, dan pembangunan yang tidak mempertimbangkan kontur tanah membuat kawasan Gunung Nago kehilangan kemampuan alami untuk menyerap air. Ketika curah hujan tinggi datang, tanah yang sudah kritis tak mampu menahan tekanan air sehingga membentuk arus banjir yang menghantam permukiman secara tiba-tiba.

Aceh pun mengalami fenomena serupa. Longsor dan banjir di berbagai kabupaten menunjukkan pola yang sama, yaitu deforestasi, alih fungsi kawasan hutan menjadi kebun dan permukiman, serta lemahnya kontrol terhadap aktivitas manusia di lereng bukit. MDI menilai bahwa ketika vegetasi penahan tanah hilang, lereng bukit menjadi rapuh dan mudah runtuh meski diguyur hujan hanya beberapa jam. Tanah longsor bukan terjadi karena hujan saja, tetapi karena tidak ada lagi yang memegang tanah itu, ungkap Dido.

Dari perspektif akademis, MDI menilai bahwa bencana ini merupakan kombinasi dari dua faktor utama: tekanan iklim dan kerentanan yang dibentuk manusia. Intensitas hujan memang meningkat akibat perubahan iklim, tetapi dampaknya akan jauh lebih kecil jika ekosistem masih utuh dan tata ruang dikendalikan dengan baik. Ketika sungai dipersempit, hutan dicabut, dan bukit dipotong tanpa riset geologi, maka air akan mencari jalannya sendiri, dan biasanya jalur itu menembus permukiman manusia.

MDI juga menyoroti bahwa sebagian besar wilayah terdampak memiliki sejarah bencana berulang, namun tidak ada perubahan perilaku dalam pengelolaan ruang. Pembangunan terus dilakukan di zona bahaya, drainase alami ditutup, sungai dipenuhi sedimentasi dari aktivitas manusia, dan area resapan air berubah menjadi area beton. Ini bukan sekadar bencana alam, tetapi bencana yang diperbesar oleh pilihan manusia, kata Dido.

Dalam pernyataan penutupnya, Dido menekankan bahwa krisis ini adalah alarm besar bahwa manusia tidak bisa lagi memandang alam sebagai ruang kosong yang bisa dieksploitasi sesuka hati. Jika manusia terus memutus hubungan ekologi antara hutan, tanah, dan air, maka bencana seperti ini akan semakin sering dan semakin fatal. MDI mendorong semua pihak untuk bertanggung jawab memastikan bahwa ruang hidup dikelola berdasarkan prinsip keseimbangan ekologis, bukan semata kepentingan jangka pendek.

Example 120x600