Saya akhirnya menonton acara diskusi politik yang menghadirkan Pandji yang bikin heboh itu. Saya tidak butuh mengulang tontonan bagian soal dinasti politik yang dibincang khalayak tersebut untuk mendapatkan kesimpulan. Kesimpulan saya, biasa saja, hmm tiada yang hebat dan memesona.
Arie dan Didiet, host acara tersebut, menyatakan bahwa dalam sistem politik demokratis, semua punya hak untuk memilih dan dipilih, bahwa seseorang tidak bisa diberi hak politik yang berbeda hanya karena garis keturunannya. Pandangan ini juga diamini oleh Pandji dengan menyatakan bahwa semua bisa maju dalam pemilihan. Pada sisi itulah frase human rights muncul dari Arie, bahwa hak politik setiap warga adalah bagian dari hak asasi.
Persoalannya justru ada pada Pandji yang terlihat mencoba menggiring seolah-olah kedua host tersebut tidak peduli pada dampak yang mungkin ditimbulkan oleh praktik politik dinasti. Seolah-olah Arie dan Didiet yang menekankan aspek hak politik menjadi terdakwa pendukung atau bahkan penyokong politik dinasti. Padahal mereka sekadar bicara tentang ruang politik untuk semua.
Politik dinasti bukan perkara boleh atau tidak boleh, melainkan patut atau tidak patut. Hanya karena seseorang tidak mau menutup hak politik setiap individu, bukan berarti ketidakpatutan itu didukung. Kalau Didiet dan Arie melontarkan pertanyaan serupa, misalnya apakah seorang anak pejabat boleh maju, saya duga jawaban Pandji akan sama dengan mereka.
Politik dinasti dalam level tertentu sama dengan politik identitas. Nasab dan identitas, bagaimana pun, adalah salah satu modal politik. Pada masyarakat tertentu, nasab dan identitas itu masih dianggap penting. Saya rasa ini yang dimaksud oleh Didiet dan Arie ketika keduanya bicara tentang Asian Values. Bahwa pada masyarakat Asia, seperti Indonesia, nasab dan identitas (agama atau etnisitas) dianggap penting dalam politik. Kita tentu bisa berdebat soal ini, namun itu sering muncul dalam keyakinan pengamat, jurnalis, atau para politikus. Itulah level politik Indonesia sekarang seperti amatan dua host. Yang dibicarakan Didiet dan Arie adalah realitas politik Indonesia, bukan soal sikap politik pribadi keduanya.
Apakah kondisi di mana preferensi politik publik masih mempertimbangkan nasab dan identitas itu ideal? Jelas tidak.
Saya sendiri percaya masyarakat Indonesia sedang berusaha keluar dari politik identitas dan politik nasab itu. Walau pun masih banyak praktik politik identitas dan nasab, namun di pelbagai tempat di seluruh Indonesia, publik sangat mempertimbangkan kinerja pemerintah sebelum menentukan pilihan. Kepala-kepala daerah yang dinilai berkinerja baik memiliki peluang jauh lebih besar untuk terpilih kembali. Sebaliknya, daerah yang dipimpin oleh tokoh yang tidak becus bekerja lebih membuka peluang bagi penantang.
Di level nasional, beberapa kali pemilihan presiden membuktikan level rasionalitas publik itu. Presiden yang mendapatkan approval rating tinggi selalu terpilih kembali dalam periode kedua (SBY dan Jokowi). Bahkan dalam pemilihan presiden 2024, kecenderungan pemilih terlihat bergeser mengikuti arah kecenderungan politik Jokowi yang juga sedang mendapatkan approval rating tinggi. Di luar dari persoalan dalam proses menuju pemilihan umum 2024, pergerakan suara publik terutama didorong oleh evaluasi mereka atas kinerja pemerintah.
Apakah politik dinasti atau politik identitas punya pengaruh? Ya, tentu. Tapi pengaruhnya terbatas atau setidaknya tidak sebesar yang dibayangkan sejumlah orang.