delinews24.net – Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI secara resmi menerbitkan keputusan yang menegaskan penutupan akses publik terhadap 16 (enam belas) dokumen persyaratan bakal calon presiden dan wakil presiden, termasuk di dalamnya fotokopi ijazah. Kebijakan ini menuai sorotan sekaligus memicu perdebatan mengenai batasan antara transparansi publik dan perlindungan privasi.
Ketua KPU RI, Affifudin, membela keputusan ini dengan menyatakan bahwa dasar hukumnya merujuk pada Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Pasal tersebut mengatur tentang informasi yang dikecualikan, yang bersifat rahasia sesuai dengan undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum.
“Keputusan ini juga didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya,” kata Afifuddin melalui pesan singkat, Senin (15/9/2025).
Afifudin menegaskan bahwa dalam menetapkan informasi yang dikecualikan dalam Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025, KPU telah melakukan “uji konsekuensi” sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 19 UU KIP. Hasil uji tersebut, yang dimuat dalam lampiran keputusan, menyimpulkan bahwa terdapat potensi pelanggaran privasi yang serius jika dokumen-dokumen pribadi calon nomine tertinggi negara itu dibuka untuk umum.
Dokumen yang Dikecualikan dan Opsi Akses Terbatas
Meski menutup akses publik, KPU memberikan catatan bahwa dokumen-dokumen yang bersifat dikecualikan ini dapat diakses oleh pihak tertentu apabila pemiliknya, yaitu bakal calon presiden dan wakil presiden, memberikan persetujuan tertulis. Kebijakan ini menempatkan kendali penuh atas informasi pribadi tersebut kepada para calon.
Ke-16 dokumen yang tidak akan dibuka ke publik meliputi:
Fotokopi KTP elektronik dan foto akta kelahiran.
Surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) dari Mabes Polri.
Surat keterangan kesehatan dari rumah sakit pemerintah.
Bukti penyampaian laporan harta kekayaan (LHKPN) ke KPK.
Surat keterangan tidak pailit dari pengadilan negeri.
Surat pernyataan tidak sedang dicalonkan sebagai anggota legislatif.
Fotokopi NPWP dan bukti SPT Pajak 5 tahun terakhir.
Daftar riwayat hidup, profil singkat, dan rekam jejak.
Surat pernyataan belum pernah menjabat presiden/wapres 2 periode.
Surat pernyataan setia kepada Pancasila, UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi.
Surat keterangan bebas pidana (berkekuatan hukum tetap) untuk tindak pidana dengan ancaman 5 tahun penjara atau lebih.
Bukti kelulusan/ijazah pendidikan menengah yang dilegalisasi.
Surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang dan G30S/PKI dari kepolisian.
Surat pernyataan kesediaan dicalonkan.
Surat pernyataan pengunduran diri dari TNI/Polri.
Surat pernyataan pengunduran diri dari karyawan/pejabat BUMN/BUMD.
Dilema antara Transparansi dan Privasi
Keputusan KPU ini memantik dilema klasik dalam demokrasi. Di satu sisi, publik memiliki hak untuk mengetahui kualifikasi dan integritas calon pemimpinnya, yang seringkali dilihat dari dokumen seperti ijazah dan rekam jejak. Di sisi lain, terdapat argumen kuat untuk melindungi data pribadi yang sangat sensitif (seperti nomor pajak, riwayat kesehatan, dan KTP) dari penyalahgunaan.
Dengan keputusan ini, KPU memilih untuk berdiri di sisi perlindungan privasi yang ketat, dengan argumentasi hukum bahwa membuka informasi tersebut dapat menimbulkan konsekuensi yang lebih berbahaya daripada manfaatnya. Kebijakan ini diperkirakan akan terus menjadi bahan perbincangan dan kritik dari berbagai kalangan yang mendorong transparansi mutlak dalam proses pencalonan pemimpin nasional.