Jakarta – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memperingatkan bahwa kesenjangan regulasi antara pekerja media konvensional dan kreator konten digital memperburuk gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri pers. Ketimpangan ini menciptakan persaingan tidak sehat, di mana media arus utama dibebani aturan ketat sementara konten kreator bebas menyebarkan informasi—bahkan hoaks—tanpa konsekuensi hukum yang jelas.
Jurnalis Dikejar Etik, Kreator Konten Bebas Viral demi Cuan
Menurut Caesar Akbar, Ketua Divisi Ketenagakerjaan AJI, pekerja media terikat pada UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan aturan redaksional yang mewajibkan verifikasi, prinsip 5W+1H, serta larangan konten SARA. Sementara itu, kreator konten digital bisa memproduksi informasi tanpa regulasi yang mengikat.
“Ini seperti petinju profesional melawan petarung jalanan. Media mainstream bermain di ring dengan wasit dan aturan, sementara kreator konten berkelahi di lorong gelap tanpa hukum,” ujar Caesar dalam keterangan pers.
Dampaknya, perusahaan media kesulitan bersaing dengan konten viral yang kerap mengabaikan fakta. AJI mencatat, dalam 3 tahun terakhir, lebih dari 1.500 jurnalis di-PHK seiring menurunnya pendapatan iklan media konvensional, sementara platform digital seperti TikTok dan YouTube justru meraup keuntungan dari konten sensasional.
Hoaks Jadi Komoditas, Sementara Media Arus Utama Tercekik Regulasi
Fenomena ini diperparah dengan kecenderungan audiens yang lebih tertarik pada konten viral ketimbang pemberitaan faktual. Survei Mastel 2024 menunjukkan, 62% masyarakat Indonesia lebih percaya informasi dari media sosial daripada portal berita resmi, meski 78% di antaranya tidak memverifikasi kebenarannya.
“Banyak kreator konten sengaja menyebar hoaks atau narasi provokatif karena algoritma mendorong engagement. Mereka dapat cuan, sementara media yang berpegang pada fakta justru ditinggalkan pembaca,” papar Caesar.
Perlunya Regulasi yang Adil dan Perlindungan bagi Jurnalis
AJI mendesak pemerintah untuk:
-
Menyamakan aturan main antara media konvensional dan kreator konten, termasuk kewajiban verifikasi dan sanksi atas penyebaran hoaks.
-
Memperkuat perlindungan pekerja pers, termasuk skema insentif bagi media yang mempertahankan standar jurnalistik.
-
Mendorong kolaborasi antara media profesional dan konten kreator berbasis fakta.
Kemenkominfo sebelumnya mengaku sedang menyusun payung hukum untuk konten kreator, termasuk kewajiban mencantumkan label “opini” atau “fakta yang diverifikasi”. Namun, hingga kini belum ada kepastian implementasinya.
Masa Depan Industri Media di Tengah Disrupsi Digital
Pakar media digital Dr. Nina Mutmainnah dari Universitas Indonesia mengatakan, transformasi industri pers harus didukung kebijakan yang adaptif.
“Media konvensional tidak bisa hanya mengandalkan model bisnis lama. Tapi negara juga harus menjamin ekosistem informasi yang sehat, di mana semua pemain—baik jurnalis maupun kreator—bermain dengan tanggung jawab yang setara.”
Sementara itu, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menyarankan perusahaan pers beralih ke model pendapatan berbasis langganan (subscription) dan konten eksklusif untuk bertahan.