Jika perkara citra dikesampingkan dulu, start dari nol, sebaiknya batas angka garis kemiskinan dihitung berapa?
Jika sekarang hitungannya di bawah 600 ribu rupiah perkapita perbulan, berapa angka yang manusiawi? Misalnya, dinaikkan menjadi 1 juta rupiah perkapita perbulan.
Konsekuensinya : angka kemiskinan kita pasti naik. Tidak apa-apa. Kan ini tentang angka. Kalau semua setuju, kenaikan angka kemiskinan tidak perlu dipolitisasi. Justru ini adalah political will yg kuat untuk lebih jujur, terbuka dan lebih bersemangat sejati untuk mengurus orang miskin. Tidak sekadar menyatakan angka kemiskinan sekarang tinggal 9,03 persen, tetapi realitasnya orang yg taraf kehidupannya miskin jauh lebih besar dari angka itu.
Waktunya hipokrasi angka diakhiri. Mulai dengan hitungan angka baru yang lebih jujur, manusiawi dan menjadi dasar ke depan untuk sesungguh-sungguhnya memperbaiki kehidupan fakir miskin.
Itulah cara pemerintah membela kaum fakir miskin. Itulah pelaksanaan perintah Konstitusi : fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Kata Prabowo : terlalu banyak saudara-saudara kita yang berada di bawah garis kemiskinan.
Pidato yang bernilai rasa kuat untuk melawan kemiskinan. Penting untuk direalisasikan dengan kebijakan yang komprehensif.
Artinya, Presiden Prabowo tidak terpukau dengan angka kemiskinan kita yang 9,03 persen dengan batas garis kemiskinan di bawah 600 ribu perkapita perbulan.
Berpuas dengann 9,03 persen dengan batas garis kemiskinan yang tidak manusiawi itu adalah hipokrasi. Cuma untuk menghibur dan polesan citra politik. Tak sungguh-sungguh bermakna mengentaskan kemiskinan.
Kenapa? Bayangkan, rakyat yang pendapatannya 600 ribu perbulan sudah dikategorikan tidak miskin. Lalu dijadikan patokan citra politik bahwa telah berhasil menekan angka kemiskinan. Apa yang begini patut diteruskan?
Tidak. Wajib dikoreksi!
Rumus terbaik menekan angka kemiskinan adalah menyediakan pekerjaan. Ekonomi yang tumbuh sehat dan inklusif akan mengkreasi lapangan kerja.
Idiom klasik “berikan kail, bukan ikan” selalu relevan. Kail bukan saja simbol peralatan ekonomi, tetapi juga pilar martabat kemanusiaan. Makin banyak pemerintah memproduksi kail, itu tanda pemerintah hadir dan bermanfaat bagi rakyatnya.
Sedangkan “beri ikan” tetap dijaga sejauh sebagai bantalan sosial dan ekonomi. Sebagai tindakan pembelaan khusus yg bersifat sementara. Tetapi tidak boleh diniatkan untuk diabadikan. Mengabadikan pola “beri ikan” berarti tindakan untuk mewariskan kemiskinan turun-temurun.
Rakyat yang sehat, cerdas-cakap dan bekerja produktif adalah kunci utama melawan kemiskinan dan keterbelakangan. Sungguh, inilah panggilan utama kehadiran pemimpin.
Itu juga “jalan ninja” terbaik yang musti ditempuh oleh pemerintahan baru.