“Sayang, katakan kalau kamu tidak sungguh-sungguh tadi di telepon,” kataku segera usai pulang dan mendapati istriku yang sedang duduk di depan meja rias tengah memakai rangkaian skincare pada wajahnya yang putih bersih.
“Hem,” jawabnya dengan sedikit menoleh padaku, lalu terlihat kembali menatap cermin dan mengusap wajahnya dengan kapas.
“Apa Mama sudah menyampaikannya sebelum ini denganmu? Dan … apa Mama memaksamu?” tebakku sambil berdiri tepat di belakang kursi yang sedang ia duduki.
Pantulan dirinya dan diriku nampak serasi. Aku tak bisa membayangkan akan ada bayangan orang ketiga di dalam hubungan ini. Sosok istri kedua.
Tiba-tiba ia malah seperti menahan tawa dengan tetap melanjutkan kegiatannya merawat muka. Pertanyaanku barusan, apa itu lucu?
“Memangnya kamu percaya kalau Mama bisa maksa aku?”
Aku menggelengkan kepala dengan semakin tidak mengerti atas jawaban berupa pertanyaan yang ia berikan.
“Mama minta aku menikah lagi, sayang. Me-ni-kah!” Aku mengeja dengan ucap menekan. Barangkali ia belum sadar kefatalan yang ia setujui sebagai jawaban. “Itu artinya, kamu akan punya madu!” Aku memaksa untuk menggeser kursi yang ia duduki dan mengurungnya di antara kedua tanganku yang menumpu pada kedua sisi kursi.
“Ya, sudah. Menikah aja. Berbakti sama orangtua itu kewajiban dan berpahala kan? Bukannya kamu yang selalu bilang gitu dan ngingatin aku? Lagipula, itu kan sunnah. Apalagi nikahin janda.” Kulihat ia sejenak mengangkat bahu, samasekali tidak nampak keberatan.
Semua yang seperti kian menyudutkanku pada satu kesimpulan. Mama yang begitu memaksa dan istriku yang tidak menghalangi samasekali.
Aku berdiri tegak dan mengusap muka dengan frustasi.
“Kamu nggak mencintai aku lagi?” tanyaku dengan intonasi tidak suka.
“No, Baby. Bukan begitu,” jawabnya dengan suara manja seraya memeluk pinggangku dari belakang.
“Tapi kamu nggak keberatan kuduakan,” ucapku dengan menggelengkan kepala, tidak habis pikir.
“Lalu aku harusnya gimana? Menolak permintaan Mama kamu dan bersikeras sampai bertengkar karena menentang apa yang Mama minta? Lantas Mama membujuk-bujuk dan aku sibuk merajuk karena tidak sepakat. Begitu maumu?” Giliran ia menyecarku dengan pertanyaan yang kini malah terdengar masuk akal.
Ia melepaskan pelukan dan aku kembali berbalik, menatapnya yang masih duduk di kursi.
Aku ingin mengatakan logikanya salah tetapi mau tidak mau, itu memang benar. Justru ia lah yang berada di posisi sangat pengertian. Apa aku yang terlalu kekanak-kanakan?
“Kamu nggak marah?” tanyaku melemah.
“Untuk apa marah? Apa aku harus insecure dengan wanita itu?” Ia nampak mengangkat bahu.
Benar apa yang ia katakan. Apa yang perlu ia khawatirkan dari pernikahan keduaku sementara ia tahu, aku bukannya akan menikahi wanita muda atau seusia dirinya. Tapi wanita yang sudah sangat matang dan beranak tiga.
Aku tidak lagi bicara, meski masih gamang terasa. Ini sungguh bukan hal mudah yang bisa kujalani.
Aku meniup udara dan melangkahkan kaki ke jendela, mencoba berdamai dengan diriku sendiri atas apa yang samasekali tak kubayangkan dalam peta hidup ini. Beberapa saat, aku lalu melepaskan kancing kemeja dan kembali ke meja rias, memeluk Ghea yang masih beraktivitas di sana. Ia nampak cantik dan sangat menarik dengan balutan gaun cukup seksi yang ia kenakan kini.
“Aku pusing,” bisikku tepat di telinganya yang sudah berdandan cantik dengan make up elegant. Tercium aroma wangi parfumnya yang menguar begitu kuat dalam terasa. Menyatu dengan wangi shampoo dan aneka perawatan rambut serta kulit yang selalu ia pakai dari merk-merk perawatan terkenal.
“Aw!” Ia meringis, menggeliat dan melepaskan diri dari pelukanku. Padahal justru aku mengharapkan lebih dari itu, apalagi dalam kondisi pusing begini. Hormon stress yang meningkat atas apa yang kuhadapi, atas permintaan Mama.
“Tidak sekarang, Beib.” Ia menggeleng dengan kembali merapikan rambutnya yang tergerai di sisi bahu dan menjadi sedikit teracak karena pelukanku. “Aku mau pergi, ada janji.”
“Sebentar saja,” bujukku yang sudah terlanjur berharap.
“No! Aku sudah dandan,” tolaknya dengan hanya memberikan kecupan di pipi dan berdiri, siap pergi.
“Sayang, please ….”
“Sabar dong,” jawabnya dengan mengedipkan mata dan melambaikan tangan padaku sekarang, lalu beranjak pergi.
Huft!
Pusing di kepala ini bukannya semakin berkurang, malah kian menjadi begini. Sungguh sial dan na’as sekali nasibku hari ini.
Aku mengerjap dan tersadar sesuatu, segera memanggil istriku yang kini sudah mencapai pintu.
“Sayang,” panggilku kembali. Bukan untuk mencegahnya pergi tapi untuk mengingatkannya sesuatu.
Aku melangkah ke sudut kamar dan mengambil luaran panjang berbahan woll yang tergantung di depan lemari. Lalu menyerahkannya pada Ghea yang mungkin lupa sebab terburu-buru ingin pergi seperti ini.
“Jangan dilepas sampai kembali,” kataku mengingatkan, sebab gaun yang ia kenakan sekarang memang sangat terbuka untuk dipakai di tempat umum. Ghea memang menyukai pakaian-pakaian seksi seperti itu tetapi selalu mengenakan luaran yang tetap sopan sebagaimana yang pernah kukatakan sejak awal pernikahan dan sampai kini selalu kuingatkan tiap kali ia akan keluar.
“Oh ya, lupa,” jawabnya seraya meraih luaran yang kuberikan dan segera memakainya. Membenarkan alasan yang memang kupikirkan atasnya.
Tali woll yang menggantung di depan dada ia eratkan dalam simpul pita usai menyampirkannya dari bahu dan menutupi punggung hingga lengan dan dada sampai bagian perutnya, lalu kembali menata rambut panjang lurusnya yang tergerai menawan dalam pandangan mata.
“Oke, sudah,” ujarnya dengan senyuman dan kembali melambai, usai membisikkan sesuatu ke sebelah telingaku, juga mengingatkan, atas kewajibanku terhadap dirinya. Nafkah lahirku untuk istriku.
Aku menganggukkan kepala dan memenuhi permintaannya segera meski masih dengan menahan pening di kepala karena tak terpenuhinya kebutuhanku sebagai suami saat ini. Aku lantas segera membuka handphone dan mengetikkan sejumlah angka yang kukirimkan melalui bank online untuk dirinya.
Ini memang sudah menjadi hal yang cukup biasa. Ia menolakku di saat ingin-inginnya begini. Tapi tentu saja dengan alasan yang memang masuk akal, keperluannya yang memang sudah terencana dan aku yang tiba-tiba ingin membatalkannya, atau minimal menunda. Seperti saat ini. Lalu, apa ini malah justru salahku? Menginginkan hal itu di saat yang tidak tepat.
Istriku cantik dan menarik tetapi tak selalu bisa kumiliki walau di saat kuingini. Selama ini, aku tak keberatan dan bisa menerima sebab tak pernah ada pembandingnya. Setelah nanti menikah lagi, apa aku akan membandingkan hal ini?