“Mas, lihat ini! Bagus tidak?” teriak perempuan yang baru saja keluar dari ruang ganti sebuah butik. Saat ini aku sedang mengantar Astri sahabatku, membeli baju untuk acara pertunangannya.
Aku terus memperhatikan perempuan di depanku itu, cantik, nampak anggun mengenakan kebaya putih, sangat beruntung lelaki yang akan menikahinya.
“Laras, sini!” panggil Astri, aku pun langsung melenggang mendekatinya.
Sambil membantu Astri memilih baju, mata ini sesekali melirik ke arah perempuan tadi.
“Mas Farhan?” batinku tersentak kaget, melihat sesosok lelaki yang menghampiri perempuan itu. Aku menatap mereka yang tidak menyadari keberadaanku, karena terhalang beberapa helai baju yang terpajang.
“Cantikkan, Mas?” tanya si perempuan dengan nada manja.
“Cantik, Sayang,” jawab Mas Farhan sembari mencubit mesra pipinya.
Tanganku sudah gatal ingin menjambak rambut perempuan itu. Namun, aku coba tahan takut salah faham.
“Seminggu lagi kita akan menikah, aku ingin jadi pengantin paling cantik di dunia.” Kembali perempuan itu bergelayut manja di lengan Mas Farhan.
“Menikah? Apa maksudnya Mas Farhan ingin menikah lagi?” darahku sudah mulai naik, tidak tahan melihat mereka yang bermesraan di depan umum.
Kaki yang sedikit gemetar menahan rasa sakit yang menusuk hati, aku beranikan melangkah ke arah kedua penghianat itu.
“Apa ini, Mas?” ucapku parau karena tangis yang tidak bisa terbendung.
Mas Farhan terbelalak kaget, segera Ia melepaskan rengkuhan perempuan itu.
“Kamu di sini, Ras?” tanyanya berusaha meraih jemariku. Namun aku tepis.
“Kamu akan menikah lagi?” sambil mengusap airmata Aku terus mencecar.
“Oh, jadi ini Mbak Laras, istri pertama kamu, Mas? Aslinya lumayan lebih cantik dari fotonya.”
Perempuan itu menyela dan kini berdiri diantara kami, ia menatapku dengan senyum mengejek, mungkin karena penampilanku yang tidak mengikuti mode jaman sekarang.
“Aku Luna, Mbak. Calon istri kedua Mas Farhan,” ucapnya mengulurkan tangan ke arahku. Tidak menyambut uluran tangannya, mata ini hanya sekilas melihat kalung yang melingkar di lehernya, kemudian kembali memandang Mas Farhan yang terdiam.
“Jadi liontin berinisial huruf L itu untuk Luna? Bukan Laras?”
Aku teringat saat di mana menemukan kotak perhiasan berisi kalung dengan inisial huruf L di saku celana Mas Farhan, aku pikir dia akan memberiku kejutan, tapi ternyata kalung itu kini berada di leher perempuan itu, Luna.
“Ras, Aku bisa jelasin…”
“Menjelaskan yang sudah jelas itu membuang waktu, Mas! Sebaiknya kamu talak aku sekarang karena tidak sudi bagiku berbagi suami dengan wanita lain!” Aku mulai kalap, semua pengunjung butik melihat ke arahku.
“Kita pulang! Jangan bikin keributan di sini!” ajak Mas Farhan.
“Aku bisa pulang sendiri. Aku tunggu kamu di rumah, Mas.” kembali ku tepis tangannya yang berusaha menjamahku.
Segera aku beranjak pergi, bahkan aku mengabaikan Astri yang mencoba menenangkanku. Berlari terus keluar menuju jalan mencari taksi atau kendaraan umum apa saja yang bisa membawaku pulang.
“Aaaaaaa….”
Bruk!
Tiba-tiba sebuah motor dengan kecepatan tinggi menabrakku hingga tubuhku serasa melayang ke udara dan mendarat dengan sangat keras. Gelap. Bahkan sakit pun tidak terasa, aku hanya mampu terpejam.
***