Tema ini menjadi perbincangan publik, dipantik kutipan pernyataan Menteri Keuangan di sebuah seminar minggu lalu. Saat itu Bu Sri Mulyani menyatakan kalau pendidikan gratis sampai kuliah di negara Nordik tak lepas dari tingginya pajak penghasilan yang dibayarkan. Ini fakta tak terelakkan dan perlu dielaborasi.
Hal ini penting dan menarik didiskusikan. Negara2 Nordik menjadi rujukan dalam banyak hal, tak terkecuali sistem perpajakan dan kualitas pelayanan publik. Apa saja hal yang perlu kita bandingkan, pelajari, dan jadikan rujukan? Selengkapnya, kita bahas bersama pada utas ini.
1) Negara Nordik sendiri selama ini menjadi benchmark sebagai “negara ideal.” Kesejahteraan warganya benar-benar dijamin oleh negara. Beberapa politisi di AS, seperti Alexandria Ocasio-Cortez, merujuk negara Nordik dalam kampanyenya. Sebagai catatan, negara Nordik di sini menggunakan definisi Ensiklopedia Britannica, yakni Swedia, Islandia, Finlandia, dan Norwegia.
2) Diskusi yang terjadi kita syukuri sebagai hal baik karena ada keingina kuat menuju pada sistem yang lebih baik. Maka perlu kita perkuat diskusi dengan data dan pengertian yang tepat.
Untuk itu kami sampaikan dua hal: 1) Data dan perbandingan antara Indonesia dan negara-negara Nordik dari sudut pandang fiskal. 2) Arti maupun makna perbandingan tersebut dalam teori dan konsep kebijakan fiskal.
3) Dari segi tax ratio, negara-negara Nordik merupakan negara-negara dengan tax ratio tertinggi di dunia. Empat dari lima negara Nordik masuk dalam kategori negara dengan tax ratio tertinggi di OECD. Sementara itu, tax ratio Indonesia pada tahun 2021 masih sebesar 10,9% atau salah satu yang terendah di kawasan Asia Pasifik. Penyebabnya tentu bisa dijabarkan, salah satunya dapat dilihat dari struktur penerimaan pajak kita.
4) Dari segi struktur penerimaan, di negara-negara Nordik, kontribusi penerimaan didominasi oleh pajak atas individu. Pajak atas individu, menurut definisi statistik OECD, terbagi menjadi dua, yaitu Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP) dan Social Security Contribution (SSC).
5) Secara rata-rata, kontribusi penerimaan PPh OP terhadap total penerimaan pajak sebesar 36% sedangkan SSC sebesar 16%. Jika dijumlahkan, kontribusi orang pribadi di negara Nordik mencapai 52% dari total penerimaan pajak. Sementara di Indonesia pada tahun 2021, kontribusi PPh OP sebesar 9%, sedangkan SSC sebesar 5%. Jika digabungkan, kontribusi orang pribadi hanya mencapai 14% dari total penerimaan pajak. Kondisi ini tak lepas dari tingkat pendapatan masyarakat Indonesia, tingkat kepatuhan, penghindaran pajak, serta kebijakan pajak.
6) Dari segi pendapatan masyarakat, tingginya kontribusi pajak atas orang pribadi menjadi penyebab tingginya kinerja PPh OP. Tingginya pajak atas orang pribadi di negara-negara Nordik sejalan dengan tingginya pendapatan masyarakat mereka, di samping tingkat kepatuhan dan kebijakan pajak yang berlaku.
Berdasarkan data OECD, rata-rata upah di negara Nordik mencapai USD 66.264,71 per tahun, setara dengan Rp1,077 miliar per tahun atau Rp89,76 juta per bulan. Sementara di Indonesia, berdasarkan data BPS, rata-rata upah dari 17 sektor sebesar Rp3,17 juta, tanpa memperhitungkan pekerja informal/buruh yang tidak memiliki majikan tetap.
7) Seberapa besar yang dipotong dari pekerja? Hal ini dapat dilihat dari besaran tax wedge, yakni perbedaan yang dibayarkan oleh pemberi kerja dibanding yang diterima oleh pekerja dengan besaran upah rata-rata dengan status single dan tanpa tanggungan.
8) Berdasarkan data OECD, total tax wedge rata-rata di negara-negara Nordik sebesar 37,84%. Sementara di Indonesia, total tax wedge hanya berkisar 4,5%. Besaran ini relatif kecil mengingat average wages (AW) buruh di Indonesia berada di bawah PTKP, sehingga tidak dikenakan potong PPh 21 dan hanya terkena potongan SSC (BPJS).
10) Di Indonesia, bagi individu dengan pendapatan rendah (50% dari average wages) masih di bawah PTKP, sehingga tidak ada potongan PPh 21, hanya ada potongan SSC (BPJS). Sedangkan bagi kelompok dengan pendapatan tinggi (250% AW), marginal tax wedge hanya sebesar 28,3%.
Dengan kata lain pemerintah dlm merumuskan kebijakan pajak sangat memperhatikan perlindungan bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Karena kelompok berpendapatan Rp7,9 juta per bulan sudah masuk dalam kategori 250% dari AW. Struktur PPh 21 Indonesia juga sudah progresif, dengan jumlah WP dalam dua lapis tarif tertinggi, sebesar 1,59% dari total, telah berkontribusi terhadap total penerimaan sebesar 64,65%.
11) Lalu apa konsekuensi dari perbedaan antara kondisi Indonesia dan negara Nordik? Pertama-tama penting untuk dipahami bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan perkapita suatu negara, maka semakin besar pula belanja publiknya (pengeluaran negara) terhadap PDB. Hal ini sejalan dengan besaran tax ratio yang juga berkorelasi positif terhadap tingkat pendapatan perkapita.
12) Artinya, 1) negara maju (pendapatan per kapita tinggi) cenderung memiliki negara dengan peran yang besar (pengeluaran publik yang besar) dalam ekonomi, seperti penyediaan fasilitas publik yang serba gratis, dan 2) sejatinya tidak ada yang benar-benar gratis, fasilitas publik yang gratis nyatanya dibiayai oleh penerimaan pajak. 3) Agar pemerintah punya peran besar dalam ekonomi maka perlu diikuti dengan kenaikan kinerja penerimaan pajak. Tentu ini juga akan seiring dg kinerja perekonomian nasional.
13) Sebagian besar penduduk Indonesia tidak membayar pajak penghasilan, atau jika membayar pajak penghasilan, besarannya relatif kecil terlebih dibandingkan dengan negara-negara Nordik.
Hal ini karena (1) penduduk kita pendapatannya masih rendah dan (2) adanya keringanan pajak utk melindungi pendapatan rakyat, yang diberikan oleh pemerintah seperti PTKP. Hal ini mempengaruhi kinerja penerimaan PPh OP. Kontribusi PPh OP di indonesia masih jauh rendah dibandingkan negara Nordik. Ini berdampak pada kinerja penerimaan pajak secara keseluruhan (tax ratio), mengingat kontribusi dari PPh OP yang tinggi menjadi kunci kenaikan tax ratio.
14) Dengan tax ratio yang masih relatif rendah dibandingkan negara-negara Nordik, maka kemampuan negara dalam ekonomi juga lebih terbatas. Peran pemerintah melalui APBN menjadi lebih terbatas jika dibandingkan dengan negara-negara Nordik. Akibatnya, pemerintah memiliki keterbatasan dalam menyediakan fasilitas dan pelayanan kepada masyarakat.
15) Kita punya acuan sistem dan praktik di negara Nordik yang efektif. Tax Ratio tinggi, kontribusi individu besar, pelayanan publik bagus. Hal ini tentu berjalan seiring dengan kemajuan ekonomi kita. Tingkat pendapatan individu meningkat, kepatuhan membaik, sistem diperkuat, dan kebijakan yang pro para pemerataan yang berkeadilan. Ini pekerjaan rumah yang besar dan mesti dipikirkan. Beberapa sudah dan sedang disiapkan.
Juga ada prasyarat yaitu tingkat korupsi yang harus ditekan demi terwujudnya pemerintahan yang baik. Semoga pengalaman dan pelajaran ini membawa kebaikan.