Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
CERPEN

Ambil Saja Suamiku

47
×

Ambil Saja Suamiku

Share this article

“Mila, apa maksud kamu, kok seenaknya saja main lapor-lapor kami segala? Kami tidak tau-menau soal pencucian uang ini,” tolak Mbak Wina.

 

“Huh, siapa sih orang itu? Pagi-pagi sudah teriak-teriak, seperti di hutan saja. Mana suara teriakannya juga sudah melebihi teriakan Tarzan lagi,” lirihku.

 

Tidak berapa lama, Bi Ratih datang sambil tergopoh-gopoh, membuat aku kaget dibuatnya.

 

“Bi, siapa yang ada diluar?” tanyaku.

 

“I-itu, Non Mila, ternyata yang berteriak-teriak itu adalah Bu Risma, mertuanya Non Mila. Ia datang bersama Non Wina, dan juga Non Reni. Non Mila, mau menemui mereka, atau tidak?” tanya balik Bi Ratih.

 

“Ya sudah, biar aku yang buka saja, Bi. Mau apa sih mereka itu?”

 

Setelah mendengar kalau di luar ada Bu Risma, Reni, serta Wina. Aku pun melangkahkan kakiku, dari ruang makan menuju ruang depan. Sesampainya di sana, aku membuka kunci menemui mereka bertiga.

 

“Akhirnya keluar juga kamu ya, perempuan sundal,” bentak Bu Risma memakiku.

 

“Ada apa sih, Bu? Pagi-pagi begini, kok sudah teriak-teriak. Berisik tau, Bu” sahutku.

 

“Bagaimana aku tidak berisik, kalau kamu seenaknya saja mengusir anakku dari rumahnya? Kalau kamu mengusir dia, berarti kamu juga harus angkat kaki dari rumah ini. Jangan malah menempati seenaknya,” ungkap Bu Risma.

 

Ternyata dia datang itu karena Mas Reno, aku usir semalam. Sehingga membuat Ibu mertuaku tidak terima, saat mengetahui itu semua.

 

“Bagaimana aku tidak mengusir Mas Reno, Bu. Kalau ternyata, anak sama mantan menantu Ibu ini Ada hubungan spesial. Jadi bagaimana mungkin aku akan terima, jika suamiku menghianatiku. Pantas saja, selama ini Mas Reno selalu melindungi Mbak Wina. Karena ternyata, kalian berdua ini sepasang kekasih. Jangan-jangan Ibu juga tau, kalau mereka ada hubungan?” tanyaku.

 

“Kalau memang iya, memangnya kenapa? Reno itu laki-laki ya, jadi tidak masalah mempunyai istri empat juga. Toh ada sunahnya juga kan?” tanya balik Bu Risma.

 

“Iya, Bu, memang tidak masalah, jika pria mempunyai istri lebih dari satu. Tapi itu untuk yang mampu, ya Bu. Sedangkan Mas Reno apa? Hidup sehari-hari saja, masih bergantung sama kekayaan keluargaku kok. Ini malah berlagak mau mendua lagi, itu namanya laki-laki tidak tau diri, Bu. Mau poligami, tapi kok memakai kekayaan istri,” ungkapku.

 

Mata Bu Risma melorot, saat mendengar perkataan terakhirku. Enak saja dia berkata, kalau laki-laki bisa poligami. Iya memang bisa, tapi itu menggunakan uangnya sendiri, bukan dari kekayaan istrinya. Mungkin dia pikir, kalau aku akan diam saja, tidak akan mengomentari kelakuan anaknya.

 

“Mila, kamu itu tahu dari mana, kalau aku ada hubungan sama Mas Reno?” tanya Mbak Wina.

 

“Aku mau tau dari mana, itu bukan urusan kamu, ya Mbak. Yang terpenting sekarang, aku sudah tau, kalau Mbak Wina dan Mas Reno ada hubungan. Aku juga akan segera menggugat cerai Mas Reno, serta melaporkan kalian kepada pihak yang berwajib, atas tuduhan pencucian uang perusahaan,” terangku.

 

Aku memberitahu mereka, jika ternyata perbuatan mereka mencuri uang perusahaan, juga sudah terendus dan akan dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Mereka pun kaget mendengar semua itu.

 

“Mila, apa maksud kamu, kok seenaknya saja main lapor-lapor kami segala? Kami tidak tau-menau soal pencucian uang ini,” tolak Mbak Wina.

 

“Iya, Wina, si Mila ini sedang ngelindur kali ya. Masa iya, kita yang nggak ada sangkut pautnya dengan perusahaan bisa terjerat,” timpalnya.

 

“Sudah jangan banyak protes, tinggal tunggu saja tanggal mainnya, kalian terjerat atau tidak nantinya. Maaf, aku juga tidak bisa berlama-lama, sebab aku harus segera pergi ngantor,” pungkasku.

 

***

 

“Bagus, Reno, kamu memang harus tegas, sama istri yang suka membangkang seperti si Mila ini. Ibu juga nggak suka mempunyai menantu, yang nggak nurut seperti dia. Hanya bisa membuat emosi saja,” cicit Bu Risma.

 

“Oh … jadi maksudnya, kalian berdua itu tidak suka sama aku, dan lebih suka dengan Mbak Wina? Begitu bukan?” tanyaku.

 

Aku bertanya dengan tegas, kepada Bu Risma dan juga Mas Reno. Aku ingin tahu maksud mereka berkata seperti itu kepadaku. Apakah hanya untuk menggertakku, atau mereka memang benar-benar tidak mengharapkan aku ada di dalam kehidupan mereka lagi.

 

“Kalau memang iya, terus kamu mau apa, Mila? Aku lebih memilih Wina, yang menjadi menantuku, daripada kamu,” terang Bu Risma, perkataannya itu begitu menusuk hatiku.

 

“Bu … Ibu jangan bicara seperti itu, Bu. Bagaimana mungkin, Ibu lebih memilih aku dan melepaskan Mila? Dia itu suaminya masih ada, serta masih berstatus menantu Ibu? Aku memang selayaknya pergi dari sini, Bu, sesuai dengan kemauannya Mila. Karena aku juga tidak mau membuat rumah tangga Reno berantakan,” papar Mbak Wina.

 

Ia berkata dengan begitu bijak, tetapi aku yakin, kalau dia berkata seperti itu hanya karena sedang berada di hadapan mertua dan juga suamiku. Seperti biasa Mbak Wina memang pandai sekali bersilat lidah. Ia itu seperti ular berbisa, yang siap menggigit dan menyebarkan racunnya.

 

Aku berkata seperti ini bukan tanpa alasan. Karena setiap ia berkata dan melirikku, dia terus tersenyum jahat ke arahku. Maksudnya apa ia berbuat seperti itu? Kalau memang bukan karena ingin meledekku. Aku yakin, kalau sebenarnya Mbak Wina itu merasa puas, dengan pembelahan mertua dan juga suamiku. Karena memang itu tujuannya ia mengadu, kepada suami dan juga mertuaku.

 

“Tuh, Reno, kurang apa coba si Wina ini? Menurut Ibu, dia ini udah tau diri banget jadi orang. Tapi kenapa Si Mila tidak suka sama dia? Ia malah selalu menganggap, kalau Wina itu jahat. Ibu yakin, kalau istrimu ini memang tidak war4s, hatinya busuk penuh dengan iri dan dengki.” Bu Risma kembali memuji sikap Mbak Wina, yang menurutnya bijak.

 

“Iya, Bu, aku juga tidak paham, dengan jalan pikiran Mila itu seperti apa? Kenapa bisa, ia mempunyai pikiran pic1k seperti itu kepada Mbak Wina? Padahal ia itu baik banget kepada Mila, ia bahkan mau membelanya. Tapi memang dasar Si Milanya saja yang tidak tau diri,” timpal Mas Reno.

 

Ucapan suami dan mertuaku ini benar-benar menusuk hatiku, membuat luka yang tak berdarah di dalam sana. Bisa-bisanya mereka malah membela perempuan bermuka dua itu dibanding aku, yang masih berstatus istri dan menantu yang sah. Mereka berdua terang-terangan membela Mbak Wina, hanya karena menilai dari tutur kata Mbak Wina, yang sebenarnya penuh dengan racun.

 

“Bu, Mas, jika memang kalian lebih mendengarkan kata-kata Mbak Wina dan tidak mau mendengar apa kataku. Ya sudah, silakan saja kalian bawa Mbak Wina ini untuk tinggal di rumah Ibu karena aku tidak mau menampungnya lagi! Kalau memang kamu mau, kamu juga boleh kok tinggal di sana, Mas. Kamu tidak kembali ke sini lagi juga nggak apa-apa, malah itu lebih bagus,” usirku.

 

“Kamu mengusir kami, Mila?” tanya Mas Reno tidak percaya.

 

“Kalau iya, memangnya kenapa? Ingat ya, Mas. Rumah ini atas nama aku dan aku yang selalu membayar cicilan setiap bulanya. Jadi kamu tidak sepantasnya mengusir aku dari rumahku sendiri, yang ada kalian yang seharusnya pergi. Selama ini aku selalu diam dan sabar menghadapi ulah kalian, tetapi maaf kesabaranku juga ada batasnya. Jika kalian tidak mau menuruti aturanku, ya sudah pada minggat saja kalian semua. Jangan pernah lagi kalian tinggal dirumahku lagi,” usirku dengan begitu tegas.

 

Wajah Mas Reno begitu pucat, saat mendengar ucapanku. Mungkin ia tidak menyangka, kalau aku akan berkata seperti itu. Selama ini aku selalu diam, tetapi bukan karena aku takut. Aku hanya masih menghargai mereka semua, tetapi kali ini aku merasa sudah cukup sabar, makanya aku berontak.

 

Mungkin mereka lupa, kalau aku ini adalah manusia, yang punya hati dan juga perasaan. Aku bukanlah wayang, yang bergerak jika dimainkan oleh dalang. Jadi aku juga bisa melawan, sekiranya mereka semua menindasku dan berbuat yang tidak sesuai dengan keinginanku.

 

“Heh, Mila. Kamu itu kurang ajar sekali ya, kamu telah berani mengusir anakku! Mila, kamu itu harus ingat, walaupun kamu yang selalu membayar angsuran rumah ini, tetapi kamu masih terikat pernikahan dengan Reno. Jadi jika kamu mau mengusir Reno, bagikan dulu harta gono gininya,” pinta Bu Risma.

 

“Apa yang dikatakan Ibu benar, Mila? Kalau kamu mau mengusir Reno dari rumah ini, kamu harus membagi dua harta bendamu. Kamu jangan serakalah jadi perempuan, sebab semua yang kamu miliki juga karena ada andil Reno,” timpal Mbak Wina.

 

Mereka berdua meminta aku, supaya aku mau membagi dua hartaku. Mereka tidak ingin pergi dengan tangan hampa, sebab menurut mereka Mas Reno berhak mendapat harta gono gini, dari pernikahannya bersamaku.

 

“Oh, jadi maksud kalian, aku harus membagi hartaku dengan Mas Reno?” tanyaku lagi, sambil menatap kedua wajah perempuan itu dengan bergiliran.

 

“Memangnya kamu benar-benar mau berpisah denganku, Mira?” tanya balik Mas Reno sambil menatapku lekat.

 

Ia meminta jawabanku, tentang apa yang akan aku pilih. Mas Reno seakan ragu, saat aku mengungkit masalah perpisahan. Padahal sejak awal dia sendiri berkata dengan tegas, kalau ia akan mengusir aku dari rumah ini, otomatis rumah tangga kami akan bubar. Tapi setelah aku menyetujui dan akan memenuhi keinginannya. Ia malah lemas dan tidak bertenaga.

 

“Mas, kamu jangan malah memutar balikan fakta ya! Bukankah dari awal kamu sendiri, yang mengusirku dari rumah ini. Padahal jelas-jelas kamu tau, kalau rumah ini adalah hasil keringatku. Dan tadi kamu juga lebih membela Mbak Wina, dibanding aku, padahal aku masih menjadi istri sah kamu. Bahkan kamu lebih memilih mantan Kakak iparmu yang numpang di sini dibanding aku. Kamu melakukannya hanya demi membela MANTAN KAKAK IPARMU, Mas, sehingga kamu tega mengusirku,” sahutku panjang lebar, bahkan dengan penuh penekanan di setiap katanya.

 

“Mila, maafkan kesalahan Mas ya. Karena Mas telah terbawa emosi. Mas Khilaf, Mila. Sebenarnya, Mas itu nggak pernah ada niatan untuk berpisah denganmu, Mila. Sekali lagi, Mas minta maaf, ya Mila. Mas tidak akan mengulanginya lagi,” ucap Mas Reno, ia meminta maaf kepadaku.

 

Aku tidak tahu permintaan maafnya ini tulus atau tidak, yang jelas Mas Reno meminta maaf dan dia bilang menyesali perbuatannya.

 

“Reno, kok kamu malah meminta maaf sih? Bukannya tadi kamu bilang mau menalak perempuan ini?” Mbak Wina bertanya, sambil memegang tangan kanan Mas Reno.

 

“Nggak, Mbak, tadi aku asal ngomong. Aku tidak akan pernah menalaknya, tadi itu aku sedang khilaf, Mbak. Sehingga perkataanku asal saja,” jawab Mas Reno.

 

“Kamu beneran menyesali, atau hanya sekedar pura-pura, Mas? Jika Kamu hanya sekedar ingin menyenangkan hatiku, lebih baik kamu pergi. Karena aku tidak suka sama orang yang bermuka dua,” tegasku.

 

Aku sebenarnya kurang yakin dan kurang percaya, dengan apa pun yang akan dikatakan Mas Reno. Aku cuma ingin mengetes saja, bagaimana jawabannya dia selanjutnya.

 

“Aku benar-benar menyesal, Mila. Jika kamu tidak percaya dan ingin bukti dariku, maka aku akan membuktikannya,” sahut Mas Reno.

 

“Jadi kamu benar-benar menyesal, Mas? Oke kalau begitu, aku memang ingin meminta bukti, tentang keseriusan ucapan kamu barusan. Maka dari itu aku minta sama kamu, supaya kamu mau mengusir Mbak Wina dari sini. Apa kamu bisa, Mas?” tantangku.

 

Karena Mas Reno memberi pilihan kepadaku, maka aku mengungkapkan apa yang ada di dalam hatiku. Aku meminta Mas Reno, supaya ia mengusir Mbak Wina, yang memang dari awal menjadi permasalahan kami, hingga permasalahannya menjadi sebesar ini.

 

Aku ingin tahu, dia sanggup atau tidak untuk melaksanakan permintaanku ini. Karena semenjak awal Mas Reno begitu melindungi, mantan Kakak iparnya ini. Jujur saja, sebenarnya aku juga heran dengan sikap Mas Reno. Kenapa bisa dia begitu perhatian dengan Mbak Wina?

 

Padahal mereka berdua sudah menjadi mantan ipar, hingga membuat aku merasa curiga. Aku sampai berpikir, kalau kedekatan mereka ini karena ada udang dibalik batu. Aku harus menyelidikinya, supaya bisa terbongkar semua rahasianya. Itu pun jika mereka mempunyai rahasia, yang mereka sembunyikan.

 

“Reno, Mbak mohon, kamu jangan lakukan semua permintaan Mila ya. Karena Mbak bingung, jika Mbak harus pergi dari sini, terus nanti Mbak harus tinggal dimana? Kamu tau sendiri kan, kalau rumah peninggalan Mas Roni Kakakmu sudah diambil Bank karena Mbak tidak sanggup membayarnya. Selain itu Mbak juga yatim piatu, jadi tidak punya siapa-siapa,” pinta Mbak Wina dengan memelas. Ia meminta belas kasihan, supaya tidak diusir.

 

“Makanya, Mbak, kalau jadi orang itu yang tau diri. Jika kamu memang numpang di rumah orang, jangan berlagak kamu yang menjadi pemiliknya. Akhirnya kamu sendiri kan yang rugi?” tegurku.

 

“Mas Reno, pokoknya aku tidak mau tau ya, kalau memang kamu masih mau bersamaku, maka kamu harus mau mengusir Mbak Wina dari rumah ini! Aku tidak peduli, mau dia tinggal di rumah Ibu, atau di rumah saudaramu, terserah kamu. Yang penting, aku tidak mau melihat dia berkeliaran lagi di rumahku ini,” pintaku lagi.

 

Aku meminta, supaya Mas Reno mengusir Mbak Wina dari rumahku. Aku ingin tahu, dia berani atau tidak melakukannya. Karena selama ini, justru dia yang selalu melindungi Mbak Wina, walaupun aku memberitahu sikap Mbak Wina terhadapku.

 

Example 120x600
PUISI

Takdir itu seperti tetes hujan yang jatuh, kau…

PUISI

Aku telah menulis banyak puisi untukmu, tapi aku…

PUISI

Diperjalananku.. Aku melewati sebuah rumah.. Lama kupandangi rumah…

PUISI

Kau riap-riap benderang Datang meniti petir Mengulas senyum…

PUISI

Sini mari sini nona, duduk di sampingku tak…