Example floating
Example floating
DARI REDAKSIInternasional

Analisis Lengkap Pemicu Runtuhnya Pemerintahan Nepal

191
×

Analisis Lengkap Pemicu Runtuhnya Pemerintahan Nepal

Share this article

delinews24.net – Keruntuhan pemerintahan Nepal bukanlah peristiwa yang terjadi secara instan, melainkan ledakan akhir dari akumulasi krisis multidimensi yang telah lama mendidih. Demonstrasi yang dipelopori Generasi Z ini dipicu oleh larangan media sosial, namun akar penyebabnya jauh lebih dalam: pengangguran massal, korupsi sistemik, kesenjangan yang mencolok, dan kelas politisi yang dianggap tidak empatik.

Kemarahan Gen-Z Nepal

Awal pemicunya adalah keputusan pemerintah yang dikuasai Partai Komunis pada Kamis pekan lalu untuk memblokir akses ke 26 aplikasi media sosial, termasuk Facebook dan X (sebelumnya Twitter). Bagi pemuda Nepal yang melek digital, langkah ini dianggap sebagai pengekangan kebebasan berekspresi yang tidak bisa ditolerir.

Namun, di balik itu, terdapat faktor-faktor struktural yang menjadi bensin bagi amuk massa:

Krisis Ekonomi dan Ketergantungan pada Remitansi

Data Bank Dunia mengungkapkan fakta mencengangkan: 82% tenaga kerja Nepal berada di sektor informal. Angka ini jauh lebih tinggi dari rata-rata global dan regional, menggambarkan betapa sulitnya memperoleh pekerjaan formal dan layak di negara tersebut.

Ketergantungan pada remitansi (kiriman uang pekerja migran) sangat tinggi, menyumbang sepertiga dari Produk Domestik Bruto (PDB) Nepal tahun lalu—peringkat keempat tertinggi di dunia. Media sosial adalah jalur vital bagi warga Nepal untuk terhubung dengan keluarga mereka yang bekerja di luar negeri. Larangan pemerintah terhadap platform ini dirasakan sebagai pemutusan nadi kehidupan mereka.

“Ketergantungan Nepal pada remitansi… telah menjadi pusat pertumbuhan negara tetapi belum menghasilkan lapangan kerja berkualitas di dalam negeri,” tulis Bank Dunia dalam laporannya. Sekitar 500.000 kaum muda memasuki pasar kerja setiap tahunnya, menambah daftar panjang pengangguran yang frustrasi.

Korupsi dan Nepotisme yang Merajalela

Transparency International menempatkan Nepal di peringkat 107 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi. Persepsi publik bahwa pemerintah tidak peka dan hanya mementingkan diri sendiri diperkuat oleh budaya “tawar-menawar antar elit” yang telah berlangsung sejak Nepal menjadi republik federal pada 2008.

Kenyataan pahit ini kontras dengan “flexing” atau pamer kekayaan yang dilakukan oleh para pejabat dan keluarganya di media sosial. Video-video yang membandingkan perjuangan rakyat biasa dengan gaya hidup mewah anak-anak politisi menjadi viral di TikTok dan memicu kemarahan yang tak terbendung.

“Saya pernah bekerja di luar negeri. Ekses elit penguasa telah ‘terungkap melalui media sosial’,” ujar Puja Manni (23), salah seorang warga, seperti dikutip AFP.

Kegagalan Sistem dan Politik yang Usang

Komisi Nasional HAM Nepal memperingatkan bahwa larangan media sosial merusak semangat pemerintahan demokratis. Santosh Sigdel dari Digital Rights Nepal menyebut langkah pemerintah sebagai “jalan yang licin.”

Surat kabar Kathmandu Post, yang kantornya ikut dibakar massa, menulis bahwa larangan tersebut menyentuh “saraf yang sensitif” di kalangan pemuda yang sudah muak dengan “sistem kesehatan dan pendidikan yang menyedihkan, serta korupsi dan nepotisme yang merajalela.”

Generasi Z Nepal, yang berjumlah 43% dari populasi, tidak lagi melihat masa depan di negara mereka sendiri. Mereka muak dengan para pemimpin yang telah berkuasa puluhan tahun namun gagal membawa perubahan berarti.

Gabungan dari semua faktor inilah—larangan medsos, ekonomi yang sakit, korupsi, dan kesenjangan—yang akhirnya memicu ledakan kemarahan terbesar dalam dua dekade, mengakibatkan kolapsnya pemerintahan dan meninggalkan masa depan politik Nepal dalam ketidakpastian.

Example 120x600