delinews24.net – Deputi Bidang Pengendalian Kependudukan Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga/BKKBN), Dr. Bonivasius Prasetya Ichtiarto, mengungkapkan bahwa masalah kesehatan, trauma masa kecil, dan pengalaman KDRT menjadi faktor dominan pasangan Indonesia memilih hidup childfree. Pernyataan ini disampaikan dalam Press Briefing State of World Population (SWP) 2025 di Jakarta, Kamis (3/7).
Faktor Pendorong Keputusan Childfree
Boni menjelaskan tiga penyebab utama:
-
Masalah Kesehatan Reproduksi – Kondisi medis yang menghambat kehamilan.
-
Trauma Keluarga – Pengalaman kekerasan atau ketidakharmonisan rumah tangga di masa lalu.
-
Kekhawatiran atas KDRT – Upaya memutus siklus kekerasan antargenerasi.
“Ada yang trauma akibat KDRT. Mereka takut anaknya mengalami hal serupa, bahkan ada yang enggan menikah,” tegas Boni.
Data dan Dampak Demografis
Meski tren childfree di Indonesia masih rendah (<0,01%), fenomena ini terkonsentrasi di perkotaan dan dipengaruhi media sosial. Beberapa temuan kunci:
-
Angka Fertilitas Nasional (TFR): 2,11 (level ideal)
-
Laju Pertumbuhan Penduduk: 1,1% per tahun
-
Episentrum Childfree: Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan
“Ini seperti tren yang dipengaruhi narasi digital, tapi secara nasional tidak signifikan,” jelas Boni.
Strategi Antisipasi BKKBN
-
Pendampingan Psikologis – Untuk pasangan dengan trauma keluarga.
-
Edukasi Kesehatan Reproduksi – Sosialisasi pilihan kontrasepsi non-permanen.
-
Penguatan Program Keluarga Harmonis – Pencegahan KDRT melalui family coaching.
Respons Pakar dan Masyarakat
Dr. Amelia Wijaya, sosiolog UI, menilai fenomena ini sebagai konsekuensi modernitas:
“Childfree adalah hak reproduksi, tapi perlu diimbangi pemahaman dampak jangka panjang terhadap struktur demografi.”
Sementara itu, pasangan childfree seperti Rina (32) dan Adi (35) dari Jakarta beralasan:
“Kami ingin fokus pada karier dan menghindari risiko kesehatan turunan.”