Jakarta – Ketua Komisi Pemerintahan DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan lembaganya akan mengevaluasi posisi Mahkamah Konstitusi (MK) dalam jangka menengah dan panjang karena dianggap mengerjakan banyak tugas yang bukan menjadi kewenangannya. Ia menyatakan bahwa MK terlalu banyak mengerjakan tugas yang disebut bukan kewenangannya.
Melansitr dari Tempo, Doli menyatakan dalam pernyataan yang diberikan di Jakarta, Kamis, 29 Agustus 2024, bahwa mereka akan mengevaluasi posisi MK karena memang sudah seharusnya kami mengevaluasi semuanya tentang sistem, mulai dari sistem pemilu hingga sistem ketatanegaraan.
Politikus Partai Golkar ini memberikan contoh saat Majelis Konstitusi memutuskan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Doli mengatakan bahwa Majelis Konstitusi melakukan hal yang sama, tetapi akhirnya masuk ke masalah teknis, yang dianggap melampaui kewenangannya.
Di samping itu, banyak putusan yang mengambil kewenangan DPR sebagai pembuat undang-undang. Pembuat undang-undang itu hanya Pemerintah dan DPR, tetapi seakan-akan MK menjadi pembuat undang-undang ketiga.
Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa DPR akan mengubah hierarki peraturan perundang-undangan karena keputusan MK adalah keputusan akhir dan mengikat.
Akibatnya, keputusan MK menimbulkan langkah-langkah baru dalam hal politik dan hukum yang harus diterima oleh peraturan teknis, seperti halnya yang dilakukan kemarin. Dia menyatakan bahwa demonstrasi mahasiswa dan kecurigaan muncul ketika DPR ingin menetapkan yang benar sesuai undang-undang.
Sebelum ini, pada Selasa, 20 Agustus 2024, MK mengeluarkan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang mengubah ambang batas untuk pencalonan kepala dan wakil kepala daerah. Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada tidak konstitusional, dan Pasal 40 ayat (3) dibatalkan oleh MK.
Dengan keputusan tersebut, MK memungkinkan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD untuk mencalonkan pasangan calon kepala daerah dan wakilnya. Syarat untuk mengusulkan pasangan calon hanya didasarkan pada perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilu di daerah tersebut, yang berkisar antara 6,5 dan 10%.
Selanjutnya, sesuai dengan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024, Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada menetapkan bahwa usia minimum calon kepala daerah harus dihitung sejak pasangan calon ditetapkan.