Di perairan São Sebastião, Brasil, pada awal 1994, seekor lumba-lumba hidung botol jantan soliter menarik perhatian warga. Diberi nama Tião—julukan umum untuk nama Portugis Sebastião—ia sering muncul di dermaga feri, mengikuti perahu, dan dengan ramah berinteraksi dengan manusia, terutama wanita. Namun, hubungan harmonis ini berubah menjadi tragedi yang mengguncang Brasil.
Awal Popularitas dan Eksploitasi yang Tak Bertanggung Jawab
Tião dengan cepat menjadi daya tarik wisata. Saat ia berpindah ke pantai utara São Sebastião, puluhan orang kerap berenang bersamanya, mencoba menungganginya dengan memegang sirip punggung dan dadanya. Sayangnya, antusiasme manusia berubah menjadi pelecehan brutal:
-
Beberapa orang mencoba mengikatnya demi foto.
-
Ada yang menusuk lubang semburnya dengan es krim.
-
Bahkan mencoba menuangkan bir ke mulutnya.
Perlakuan ini membuat Tião, yang semula jinak, berubah agresif. Pada November 1994, 28 orang terluka dan harus dirawat di rumah sakit akibat serangannya.
Kematian yang Menjadi Titik Balik
Tragedi puncak terjadi pada Desember 1994 di pantai Caraguatatuba. Dua perenang pria—Wilson Reis Pedroso dan João Paulo Moreira—mengganggu Tião, kemungkinan mencoba menahannya. Dalam perlawanan, Tião:
-
Mematahkan tulang rusuk Pedroso.
-
Mengakibatkan kematian Moreira karena pendarahan internal (autopsi menunjukkan korban dalam keadaan mabuk).
Kematian ini memicu kepanikan, tapi juga kesadaran baru. Pemerintah setempat meluncurkan kampanye edukasi untuk mencegah balas dendam dan mengajarkan interaksi yang aman dengan satwa laut.
Misteri Kepergian Tião
Setelah sempat menghilang, Tião kembali pada Januari 1995, tetapi kali ini ia tak lagi seekor lumba-lumba yang ramah. Beberapa bulan kemudian, ia pergi untuk selamanya. Ada dua teori tentang nasibnya:
-
Bergabung dengan kawanan lumba-lumba lain (perilaku alami lumba-lumba soliter).
-
Dibunuh diam-diam oleh warga yang membencinya.
Warisan Tião: Pelajaran untuk Konservasi
Kisah Tião menjadi studi kasus global tentang dampak buruk interaksi manusia dengan satwa liar. Para ahli menekankan:
-
Lumba-lumba bukan hiburan—mereka makhluk cerdas dengan batasan.
-
Pelecehan dapat memicu trauma dan agresi, bahkan pada hewan yang paling bersahabat.
-
Edukasi publik adalah kunci untuk koeksistensi damai.
Hari ini, São Sebastião mengenang Tião bukan sebagai “lumba-lumba pembunuh”, melainkan sebagai korban ketidaktahuan manusia. Kisahnya memicu peraturan lebih ketat untuk perlindungan mamalia laut di Brasil.
Apa Pendapatmu?
Bagaimana kita bisa mencegah tragedi serupa terjadi lagi? Apakah pantai-pantai di Indonesia juga membutuhkan aturan serupa?
(Sumber: Laporan Casa de Saúde Stella Maris, arsip berita Brasil 1994–1995, wawancara dengan ahli biologi laut setempat.)