Sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan fondasi identitas bangsa. Namun, bagaimana jika penulisannya dikendalikan oleh kepentingan politik? Baru-baru ini, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan mengumumkan rencana revisi buku sejarah nasional. Proyek yang melibatkan 100 sejarawan ini menuai kontroversi setelah laporan investigasi Australian Broadcasting Corporation (ABC) mengungkap indikasi manipulasi sejarah untuk kepentingan legitimasi kekuasaan.
Laporan ABC berjudul “Ketika Sejarah Indonesia Diperbarui untuk Kelegitimasi Sang Pemenang” (22 Mei 2024) menyoroti kecenderungan sejarah selektif—hanya peristiwa yang menguntungkan rezim dimuat, sementara tragedi kelam diabaikan. Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), yang terdiri dari sejarawan dan aktivis HAM, telah mengajukan protes resmi ke DPR. Mereka menilai revisi ini berpotensi memutarbalikkan fakta dan mengubur tanggung jawab negara atas pelanggaran HAM masa lalu.
Dua Masalah Utama dalam Revisi Sejarah
1. Konsep “Sejarah Resmi” yang Bermasalah
Pemerintah menggunakan frasa “sejarah resmi”, seolah-olah hanya versi inilah yang sah. Padahal, sejarah seharusnya bersifat multiperspektif. Sejarawan senior Asvi Warman Adam menegaskan bahwa sejarah resmi cenderung menjadi alat legitimasi politik, di mana narasi dibentuk untuk mengukuhkan kekuasaan (Kompas, 2023).
Contoh nyata adalah penghilangan 12 kasus pelanggaran HAM berat era Orde Baru, meskipun Presiden Jokowi sendiri mengakuinya pada 2023. Tragedi seperti kerusuhan Mei 1998, pembantaian Talangsari 1989, dan penembakan misterius (Petrus) 1980-an tidak tercantum. Yang masuk hanya Peristiwa Tanjung Priok 1984 dan Talangsari, itupun dengan narasi yang dipertanyakan.
2. Penghapusan Pencapaian Penting Masa Sukarno
Selain masalah Orde Baru, masa pemerintahan Sukarno juga disederhanakan. Peristiwa bersejarah seperti:
-
Konferensi Asia-Afrika 1955 (landasan politik luar negeri Indonesia),
-
Asian Games 1962 (prestasi olahraga pertama Indonesia),
-
GANEFO 1963 (ajang olahraga sebagai simbol perlawanan terhadap imperialisme),
tidak dimuat dalam draf revisi.
Padahal, peristiwa-peristiwa ini adalah tonggak penting diplomasi dan kebanggaan nasional (Tempo, 2022).
Konflik Internal di Balik Proyek Revisi
Laporan ABC mengungkap bahwa tidak semua sejarawan setuju dengan kerangka revisi ini. Beberapa bahkan mengundurkan diri karena merasa dipaksa menulis di luar kompetensi mereka. Seorang profesor yang enggan disebutkan namanya menyatakan:
“Data masih simpang siur, perlu riset lebih dalam. Jangan sampai ini jadi sejarah yang dipaksakan.”
Pertanyaan kritisnya: Apakah proyek ini benar-benar untuk kejernihan sejarah, atau sekadar alat propaganda?
Mengapa Rakyat Harus Peduli?
-
Sejarah yang Diputarbalikkan = Masa Depan yang Rapuh
Jika generasi muda hanya diajarkan versi yang dibersihkan dari kesalahan negara, mereka tidak akan belajar dari kesalahan masa lalu. -
Integritas Pemerintah Dipertanyakan
Revisi sepihak tanpa transparansi merusak kepercayaan publik. Sejarah harus ditulis secara jujur, bukan demi kepentingan rezim. -
Ancaman terhadap Demokrasi
Rezim otoritarian sering memanipulasi sejarah untuk mengukuhkan kekuasaan. Kita harus waspada agar Indonesia tidak terjebak dalam pola yang sama.
Kesimpulan: Perlunya Sejarah yang Jujur dan Inklusif
Revisi sejarah Indonesia harus melibatkan berbagai pihak, termasuk korban pelanggaran HAM, akademisi independen, dan masyarakat sipil. Jika pemerintah bersikeras memaksakan sejarah versi penguasa, maka yang terjadi adalah pengaburan kebenaran, bukan pencerahan.
Seperti kata Pramoedya Ananta Toer:
“Sejarah ditulis oleh para pemenang, tetapi kebenaran sejarah milik semua orang.”
Fadli Zon dan Lingkaran Kekuasaan
Berdasarkan informasi yang beredar (termasuk laporan ABC dan pernyataan Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia/AKSI), Fadli Zon, selaku Menteri Kebudayaan bertanggungjawab atas proyek ini.
Sebagai Penggagas dan Penanggung Jawab Proyek
-
Fadli Zon mengumumkan rencana revisi sejarah Indonesia pada awal Mei 2024, menyatakan bahwa revisi ini bertujuan untuk “meluruskan, menambah, dan memperbaiki” narasi sejarah yang ada (ABC, 22 Mei 2024).
-
Ia menugaskan 100 sejarawan untuk mengerjakan proyek ini, meskipun kemudian muncul kritik bahwa proses seleksi dan panduan penulisannya tidak transparan.
Kontroversi dan Kritik
-
Politik Historiografi: Fadli Zon dikenal sebagai politisi Partai Gerindra dengan pandangan nasionalis-konservatif. Kritikus seperti sejarawan Asvi Warman Adam mencurigai proyek ini sebagai upaya “legitimasi sejarah” untuk kepentingan rezim saat ini atau narasi politik tertentu (Kompas, 2023).
-
Penghilangan Kasus HAM: Fadli tidak memberikan klarifikasi memadai mengapa 12 kasus pelanggaran HAM Orde Baru (yang diakui Jokowi) dihilangkan dari draf. Padahal, sebagai menteri, ia seharusnya menjamin akuntabilitas sejarah.
-
Tidak Ada Konsultasi Publik: Proses revisi dinilai elitis karena tidak melibatkan korban pelanggaran HAM atau organisasi masyarakat sipil.
Reaksi terhadap Protes AKSI
-
Ketika AKSI (termasuk Marzuki Darusman dan Sulistyowati Irianto) mendatangi DPR pada 19 Mei 2024, Fadli Zon tidak memberikan respons substantif. Ia hanya menegaskan bahwa revisi “masih dalam proses” tanpa menjawab tuntutan transparansi (Tirto, 2024).
Motivasi di Balik Proyek
-
Agenda Politik: Fadli Zon kerap dikaitkan dengan upaya revitalisasi narasi Orde Baru, terutama terkait pembelaan terhadap tokoh seperti Soeharto. Revisi sejarah bisa menjadi alat untuk mengurangi dosa masa lalu rezim otoriter.
-
Sentimen Nasionalisme: Ia mungkin ingin menonjolkan peristiwa yang membangun citra “heroik” Indonesia, sambil mengabaikan tragedi yang merusak citra negara.
Fadli Zon, sebagai menteri, memiliki otoritas untuk menginisiasi revisi sejarah. Namun, kredibilitasnya dipertanyakan karena:
-
Tidak netral – Diduga membawa kepentingan politik tertentu.
-
Tidak inklusif – Mengabaikan suara korban dan sejarawan kritis.
-
Tidak transparan – Menolak mempublikasikan draf lengkap untuk dikritik publik.
Jika proyek ini terus berjalan tanpa perbaikan proses, Fadli Zon berisiko mengukuhkan dirinya sebagai aktor yang mempolitisasi sejarah, alih-alih menjaganya sebagai warisan ilmiah yang objektif.
Referensi
-
ABC News. (2024). “When Indonesia’s History is Rewritten to Legitimize the Winners.”
-
Kompas. (2023). “Politik Historiografi: Sejarah Resmi vs Sejarah Kritis.”
-
Tempo. (2022). “Mengapa Pencapaian Sukarno Sering Dihilangkan dalam Sejarah?”
-
Asvi Warman Adam. (2020). “Sejarah yang Diguncang: Manipulasi Narasi Kekuasaan.”