Kalau kita perhatikan dengan seksama, tiap kali megawati mempertontonkan arogansinya maka hal itu akan menciptakan bola salju yang akan membesar, berbalik menggelinding, kemudian melindas PDIP kembali.
Masih ingat geger SBY yang dipecat oleh Megawati sebagai Menkopolhukam? Misteri mengenai apa sebenarnya yang terjadi sehingga membuat Megawati murka kepada SBY mulai terungkap dari pengakuan petinggi PDIP Panda Nababan.
Semua tahu pada saat itu Megawati mulai mengamputasi wewenang SBY sebagai Menkopolhukam setelah mengendus bahwa SBY akan menjadi rival politiknya menjelang Pilpres pada tahun 2004 silam.
Megawati merasa SBY diam-diam menikamnya dari belakang dengan membentuk poros baru melalui partai demokrat yang didirkan SBY.
Namun hal itu justru malah meningkatkan simpati publik terhadap SBY hingga partainya kemudian keluar sebagai pemenang pemilu dan ia terpilih sebagai presiden.
Sejak saat itu Megawati memilih untuk berada diluar pemerintahan.
Era berganti, datanglah Jokowi. Tak sekali dua kali Jokowi dipermalukan di depan publik oleh Megawati. Mulai sebutan petugas partai, hingga Jokowi tidak ada apa-apanya jika tidak ada PDIP.
Hal itu diduga membuat Jokowi diam-diam menyusun kekuatan, meminjam tangan melalui proxy partai-partai koalisi untuk memukul balik PDIP hingga sempat dikucilkan dalam kontestasi Pilkada 2024.
Megawati pun meradang, lagi-lagi ia berteriak lantang, namun Jokowi yang kian membesar membuat lidah Mega selalu kelu untuk menyebutkan nama itu dan memaki-makinya tiap kali dia diberi kesempatan untuk menyampaikan pidatonya.
Meskipun kebablasan, kolaborasi kekuasaan untuk mengkerdilkan PDIP yang justru tercatat sebagai pemenang pemilu pada tahun 2024 akan dicatat oleh sejarah sebagai persekongkolan demokrasi paling brutal yang pernah terjadi pasca reformasi.
Untungnya, pada saat yang tepat muncul kekuatan rakyat melawan para pembegal demokrasi di Senayan. Tak mau tinggal diam, PDIP pun langsung membonceng momen ini untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka tak bisa dengan mudah dizolimi. Sekali lagi, Megawati menunjukkan betapa dunia politik tak bisa apa-apa tanpa kehadirannya yang kerap kali ia sebut ‘barang antik’.
Dalam kesempatan pengumuman calon kepala daerah yang bakal diusung PDIP, Megawati sekali lagi menunjukkan sisi gelap itu. Sasaran amarah Megawati kali ini mengarah kepada Anies Baswedan.
Dalam pernyataan Megawati tersirat bahwa Anies hanya ingin membonceng PDIP sebagai kendaraan politiknya menuju kursi Jakarta 1. Bagi PDIP, mengusung Anies sama saja seperti membesarkan seekor anak singa, jika sudah besar dan dewasa tak tertutup kemungkinan mereka juga akan dimangsa.
Anies yang memang sengaja menyempatkan diri datang pada saat itu harus menelan kekecewaan karena tak jadi diumumkan untuk didukung dalam kontestasi Gubernur Jakarta 2024.
Peristiwa itu menimbulkan kegaduhan politik yang tak kalah dengungnya dengan aksi demonstrasi Mahasiswa dan masyarakat yang mulai berganti tema dengan pelengseran Jokowi.
Berbagai spekulasi liar pun bermunculan mengenai apa rencana PDIP selanjutnya jika tak mengambil momen dukungan terhadap Anies untuk melawan balik geng Istana?
Pertanyaan tersebut akhirnya terjawab dengan didaftarkannya Pramono Anung-Rano Karno sebagai Calon Gubernur dan wakil gubernur Jakarta tanpa melalui pengumuman seperti yang lainnya.
Keputusan PDIP itu jelas melukai banyak orang. Mengusung Pramono Anung dianggap antiklimaks. Sebagian kalangan menganggap PDIP tidak rasional atau memang sengaja ingin dikalahkan karena masih takut dengan tekanan rezim saat ini yang masa kadaluarasnya hanya tinggal kurang dari 50 hari lagi.
Jelang detik-detik akhir pendaftaran, babak baru drama Pilkada PDIP dimulai. Sejak siang santer rumor yang mengatakan bahwa Anies akan dicalonkan menjadi Gubernur Jawa Barat oleh PDIP. Puan Maharani yang dikonfirmasi tidak membantah hal itu, ia meminta agar semuanya menunggu keputusan tersebut pada sore harinya.
Namun hingga malam hari, belum ada tanda-tanda kepastian tersebut selain gosip-gosip yang mengabarkan bahwa Anies telah berangkat ke KPUD Bandung.
Pada saat itu, tak ada yang lebih menarik selain menunggu munculnya Anies untuk mengkonfirmasi hal tersebut. Hingga akhirnya di detik-detik menuju pukul 23:59, Kamis 27 Agustus 2024, tim relawan Anies melalui Sahrin Hamid mengabarkan bahwa Anies menolak dukungan PDIP untuk maju pada pilgub Jawa Barat dengan alasan tidak adanya aspirasi dari masyarakat.
Maka selesailah puncak dari drama Pilkada 2024 yang mendominasi jagat politik Indonesia seminggu belakangan ini.
Jum’at 30 Agustus 2024, Anies akhirnya muncul melalui kanal pribadinya. Mengurai kronologi dan menjelaskan situasi. Intinya, Anies ingin tak ada yang terluka atas keputusannya tersebut.
Namun, situasi kembali riuh dengan pernyataaannya yang membuka kesempatan untuk mendirikan ormas atau partai politik jika memang ada aspirasi yang menginginkannya. Tampaknya Anies mulai belajar setelah petinggi-petinggi partai terus menerus menyindirnya yang tak mau ganti baju dan cenderung tak loyal pada partai yang mengusungnya.
Jika apa yang diucapkan Anies benar-benar menjadi kenyataan, apakah bola salju yang akan menggilas PDIP seperti peristiwa yang sudah-sudah akan kembali terulang?