Andra sudah terbiasa memperhatikan Keira dari jauh. Ia selalu ada, bahkan di saat Keira mungkin tak menyadarinya.

Andra dan Keira sudah berteman sejak SMP, tetapi bagi Andra, Keira bukan sekadar teman. Gadis itu seperti pelangi di hari hujan: ceria, penuh warna, tapi sulit digapai. Setiap senyumnya adalah alasan Andra untuk tetap mencoba mendekat, meski jaraknya selalu terasa tak terjangkau.

Semua bermula ketika Andra mulai menyadari perasaannya saat mereka duduk di kelas dua SMA. Ketika Keira menceritakan kegagalannya saat ujian matematika, Andra hanya tertawa kecil dan menawarkan untuk mengajari. Hari demi hari berlalu, mereka menghabiskan waktu bersama, tetapi hanya sebatas teman.

Namun, kenyataan menghantam Andra keras ketika Keira dengan senyum manis bercerita tentang seorang cowok lain.

“Namanya Evan. Kamu tahu, kan, dia kapten basket itu?” Keira berbicara sambil memeluk tas di dadanya. “Kayaknya dia mulai suka sama aku.”

Andra hanya bisa tersenyum kaku. Di dalam hatinya, kata-kata itu terasa seperti jarum kecil yang menusuk pelan-pelan. Tapi dia menutupinya dengan nada bercanda.

“Ya sudah, kalau kalian jadian, jangan lupa traktir aku, ya!” katanya sambil menepuk pundak Keira.

Tapi malam itu, di kamarnya yang sunyi, Andra menatap ponselnya, melihat foto Keira yang ia ambil diam-diam saat mereka belajar bersama. Sebuah senyuman tipis terukir di wajahnya meski hatinya remuk.

“Kalau dia bahagia, aku juga bahagia, kan?” bisiknya pada dirinya sendiri.

Hari-hari berlalu, dan Keira semakin sering berbicara tentang Evan. Mereka akhirnya resmi berpacaran. Andra tetap menjadi tempat Keira bercerita, meski kadang cerita itu semakin menyayat hati Andra.

Namun, di suatu sore yang kelabu, ketika Keira bertengkar dengan Evan dan berlari ke rumah Andra untuk menangis, Andra menyadari sesuatu. Ia tak akan pernah menjadi pilihan pertama Keira. Ia hanya tempat singgah saat gadis itu terluka.

Ketika Keira akhirnya pulang setelah tangisnya reda, Andra berdiri lama di depan pintu.

Ia berbisik pada dirinya sendiri, “Mungkin aku harus belajar mencintai diriku juga, ya.”

Mulai hari itu, Andra pelan-pelan menjauh. Ia tetap menjadi teman yang baik, tetapi kini ia lebih sering meluangkan waktu untuk hal-hal lain: bermain gitar, hangout dengan teman-teman baru, atau sekadar membaca buku di taman.

Meski rasa itu tidak sepenuhnya hilang, Andra belajar menerima kenyataan. Tidak semua cinta harus dimiliki. Kadang, mencintai berarti juga melepaskan.

Dan Keira? Ia mungkin tak pernah benar-benar tahu apa yang Andra rasakan. Tapi bagi Andra, Keira akan selalu menjadi pelangi yang indah dalam kenangan masa mudanya.

Waktu berlalu, dan mereka berdua lulus SMA. Keira dan Evan tetap bersama, meskipun hubungannya tidak selalu mulus. Andra tetap menjadi bagian dari hidup Keira, tetapi ia menjaga jarak yang cukup, mencoba melindungi hatinya sendiri.

Andra kini sibuk di kampus, bergabung dengan band lokal, dan akhirnya menemukan tempat di mana ia merasa dihargai. Ia mulai bermain gitar di kafe-kafe kecil, di mana ia bisa mengekspresikan semua perasaan yang ia pendam melalui lagu.

Pada suatu malam, di sebuah kafe kecil di pinggir kota, Andra sedang tampil. Lagu yang ia bawakan adalah ciptaannya sendiri, liriknya sederhana namun penuh makna:

“Aku berjalan di samping bayanganmu,
Tapi tetap saja tak terlihat.
Aku melangkah menjauh,
Mencoba menemukan aku yang hilang.”

Penonton memberi tepuk tangan meriah, tetapi di antara kerumunan, Andra menangkap seseorang yang tak ia sangka akan hadir malam itu. Keira.

Keira duduk di sudut ruangan, matanya berkaca-kaca. Setelah acara selesai, ia menghampiri Andra.

“Itu lagu untuk aku, ya?” tanyanya dengan nada ragu.

Andra tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Mungkin. Tapi sekarang itu hanya masa lalu.”

Keira terdiam sejenak, menunduk sambil meremas-remas tali tasnya. “Kenapa kamu nggak pernah bilang, Andra? Aku nggak pernah tahu…”

Andra menghela napas, lalu menatap Keira dengan tatapan lembut, namun tegas. “Apa gunanya, Kei? Kamu bahagia dengan Evan. Dan aku nggak mau menghancurkan itu. Aku lebih memilih jadi teman baikmu daripada kehilangan kamu sama sekali.”

Keira menunduk, tidak bisa membalas. Ia tahu Andra selalu ada untuknya, bahkan di saat ia terlalu sibuk dengan hidupnya sendiri untuk menyadari perasaan Andra.

“Tapi sekarang aku nggak sama Evan lagi,” Keira akhirnya berkata. “Kami putus beberapa bulan lalu.”

Ada keheningan di antara mereka. Andra seharusnya merasa senang mendengar kabar itu, tetapi tidak. Ia sudah melangkah maju, dan hatinya tidak lagi menggantung pada harapan lama.

“Kei, aku senang kamu cerita. Tapi…” Andra berhenti, berusaha memilih kata-kata yang tepat. “Aku rasa aku sudah cukup mencintai kamu dari jauh. Sekarang, aku ingin fokus mencintai diriku sendiri.”

Keira tertegun, tidak menyangka akan mendengar itu. “Jadi… ini akhir dari kita?”

Andra tersenyum lembut. “Ini bukan akhir. Kita tetap teman, Kei. Tapi untuk pertama kalinya, aku ingin menjadi tokoh utama di hidupku sendiri, bukan hanya jadi figuran di cerita orang lain.”

Keira menatap Andra dengan mata berkaca-kaca, tetapi ia tahu Andra benar. Kadang, cinta bukan tentang memiliki, tetapi tentang menemukan tempat di mana kita benar-benar dihargai, termasuk oleh diri sendiri.

Malam itu, mereka berpisah dengan senyuman. Bukan senyuman bahagia, tetapi senyuman penuh penerimaan.

Di panggung hidupnya, Andra akhirnya menjadi dirinya sendiri. Dan ia tahu, meskipun Keira akan selalu menjadi bagian dari masa lalunya, masa depannya adalah tentang menemukan kebahagiaan tanpa harus bergantung pada orang lain.