Update perasaan 13 Mei 2024 : masih sama, belum terganti.
Kabar baiknya: tadi ketemu, lebih tepatnya papasan di jalan, dia naik motor dan aku jalan kaki. Kirain diabaikan, ternyata dia senyum. Manis banget. Bahagia? Banget. Biasanya, jangankan senyum.
Semoga apa pun yang terjadi nanti, rasa sabarku masih tetap sama seperti tahun-tahun yang sudah kulewati dan bahkan sampai hari ini., natap aja ngga berani.
Sering banget ditanyain: “kok ngga sama dia aja sih?”
Ya, karena emang ngga bisa. Perasaannya ngga sama, tujuannya ngga sama, yang dia mau bukan aku, atau sederhananya memang belum ditakdirkan untuk bersama. Lagipula dia punya kekasih.
Aku tidak mungkin memaksakan perasaanku dengan mengganggu hubungannya dengan orang lain. Aku cukup tahu diri dengan menikmati perasaanku diam-diam. Aku mungkin salah, tapi perasaanku tidak.
Jika mendoakanmu dengan harapan-harapanku yang egois adalah sebuah kesalahan, biar Tuhan saja yang menghukumku.
Satu hal yang aku yakini, Tuhan tidak mungkin membiarkan hatiku jatuh sedalam ini untuk sesuatu yang sia-sia. Entah apa pun itu, aku percaya pada rencana Tuhan.
Yang tidak mungkin, masih bisa diusahakan, dengan doa.
Pertemuan terlama, setelah sekian lama.
Dua kali pertemuan yang cukup sebelum kembali menabung rindu. Sampai bertemu lagi Mei nanti, atau kapan pun Tuhan kehendaki.
Masih tidak percaya, seseorang yang pertama kali membuatku jatuh cinta adalah seseorang yang sama, yang aku ceritakan kepada banyak orang dengan perasaan yang sama, bahkan setelah belasan tahun berlalu.
Baru saja cerita ke teman soal kamu. Katanya, mungkin sebentar lagi kamu juga yang akan menikah. Tahu apa responku?
“Tolong, jangan dulu.”
“Maksudku, tunggu sampai aku move on dulu.”
“Kalau dia nikah, fix aku nangis.”
Setelah bilang begitu, aku menangis, hehe.
Sedih, karena suatu saat nanti hal itu pasti akan jadi kenyataan dan aku tidak akan bisa lagi melarikan diri.
Beberapa memilih datang untuk pergi, mendekat untuk menjauh, tapi dia selalu menetap; tanpa harus menjadi siapa-siapa, atau pada perasaan mana ia akan tinggal.
Mei tahun kedua. Kuceritakan segala tentangmu dengan sepenuh hati dan doa.
Kita bertemu lagi. Kalau boleh jujur, debar di dadaku masih sama, masih cukup jadi alasan untuk menghindar setiap kali kita berpapasan. Mungkin bagimu aku adalah orang yang berbeda, yang sudah asing. Kenyataannya, aku masih orang yang sama. Yang berbeda hanya caraku mencintaimu.
Sebenarnya tidak ada yang bisa diharapkan, tapi cinta tetap cinta meski jatuh sia-sia.
Mencintaimu aku butuh lebih banyak hari libur.
Aku menyerah dan kalah pada perasaanku. Aku akan membiarkan perasaan ini terus tumbuh, tanpa memberinya nama atau harapan. Entah untuk berapa tahun lagi. Entah harus patah suatu saat nanti, atau berbuah cerita yang baik, terserah Tuhan saja.
Tidak pernah aku seputus asa ini mencintai seseorang.
Kemarin, tidak sengaja lihat wallpaper di handphonenya, padahal jarak kita saat itu cukup jauh. Ya, tentu saja tidak sendiri.
Pagi ini, aku kembali dengan sebuah pertanyaan: “Apakah semesta sedang memberikan jawaban?”
Tuhan, atur saja baiknya, ya.
Sesayang itu sama manusia satu ini.
Pertama kali nulis puisi, kelas 2 SMA. Puisi yang kemudian dia baca. Dia adalah alasanku menulis, sekaligus pembaca pertamaku. Puisi yang katanya bagus. Saat buku yang berisi puisi itu ingin dia kembalikan, aku bilang ngga usah. Buang atau bakar saja.
Dan sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu, aku masih mengenali perasaan itu. Perasaan yang tidak asing, masih dekat dan hangat.
Akhirnya, dengan sedikit keberanian dan banyak ketakutan, saya bagikan tulisan ini di Facebook (satunya-satunya tempat di mana dia bisa menemukanku, meski itu juga ngga mungkin)
Aku menemukanmu lagi, dengan perasaan yang masih sama.
Hai, yang jauh! bukan aku yang berusaha menemukanmu, semesta yang membawa kita pada sebuah pertemuan.
Salah satu hal yang dari dulu selalu aku harapkan adalah bisa ngobrol selayaknya teman sama kamu. hal yang sebenarnya sederhana, namun jadi rumit karena setiap kali kita bertemu, kepalaku sibuk mencari cara untuk melarikan diri.
Semalam hal itu menjadi kenyataan dalam mimpi. Kita bertemu, di tempat yang sangat kukenali. Kamu juga menawarkan untuk mengantarku pulang. Sepanjang perjalanan, kita ngobrol banyak. Bahkan aku bercerita tentang rencanaku yang ingin melanjutkan pendidikan.
Terlalu nyata, hingga saat bangun pun aku masih ingat jelas seluruh topik pembicaraan kita.
Tapi senyata apa pun, mimpi tetaplah mimpi. Meski sadar tentang hal itu, aku akan berbohong jika mengatakan bahwa aku tidak berharap apa-apa.
Setiap kali kita bertemu atau aku melihatmu dari jauh, aku tidak pernah bisa menjelaskan bagaimana perasaanku. Entah rindu, cinta, kagum, atau rasa bersalah. Aku lebih memilih menghindar, mencoba menenangkan debar dan sekali lagi berusaha berdamai dengan kenyataan.
“Sudah menetap di sini?”
Terima kasih sudah menyapa. Terima kasih untuk pertanyaan yang hanya berani kujawab dengan anggukan. Setelah sekian tahun.
Semakin sering kita bertemu, semakin pula aku mendesak Tuhan agar segera memberi jawaban atas pertanyaan, perasaan, juga penantianku. Aku tidak ingin menghidupi pertemuan dengan harapan-harapan jika kelak hanya berakhir sebagai luka.
Ternyata cukup sampai di sini. Terima kasih sudah menjadi bagian dari jatuh dan patah hatiku.
Penantian tak kunjung usai.