“Rp20 ribu per hari dianggap cukup untuk hidup layak?”
Begitulah standar kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS) yang membuat banyak pihak menggelengkan kepala. Sementara itu, Bank Dunia memberikan angka yang jauh berbeda: 171 juta orang Indonesia tergolong miskin, jauh dari klaim BPS yang hanya 24 juta jiwa.
Ada selisih 147 juta jiwa!
Permasalahannya bukan hanya pada perbedaan angka, tetapi juga pada kebijakan yang lahir dari itu.
Bansos salah sasaran
Bantuan sosial tidak sampai ke yang paling membutuhkan. Di Desa Sukamaju contohnya, Jawa Barat, data BPS hanya mencatat 50 keluarga miskin. Padahal secara riil ada 120 keluarga yang kesulitan memenuhi kebutuhan pokok. Akibatnya, bantuan sembako dan BLT hanya diberikan ke 50 keluarga tersebut. Ibu Siti (42), yang suaminya cacat dan punya 3 anak sekolah, tidak menerima bansos karena penghasilan Rp25.000/harinya dianggap “melebihi” garis kemiskinan BPS.
Dana daerah tidak adil
Alokasi dana pembangunan tidak tepat sasaran. Contoh kasus Kabupaten A di NTT dialokasikan dana kemiskinan lebih kecil daripada Kabupaten B di Jawa, karena BPS mencatat angka kemiskinan Kabupaten A hanya 12%. Faktanya, 60% warganya bekerja serabutan dengan pendapatan tak menentu. Sementara di Kabupaten B yang dapat alokasi besar, dana malah dipakai untuk proyek fisik seperti taman kota, bukan program pengentasan kemiskinan.
Pembangunan “palsu”
Angka kemiskinan rendah, tapi realitasnya masih banyak yang hidup susah. Kita ambil sampel:
Contoh 1: Infrastruktur Megah vs Permukiman Kumuh
-
Klaim Pemerintah: “Angka kemiskinan Kota Y turun 5% berkat pembangunan pusat perbelanjaan dan jalan tol.”
-
Realita:
-
500 keluarga di bantaran sungai tetap tinggal di rumah kayu reyap tanpa akses air bersih.
-
Proyek tol malah menggusur 300 pedagang kecil tanpa relokasi layak.
-
Kata Warga: “Dibilang tidak miskin, tapi anak-anak kami mandi di kali yang penuh limbah.”
-
Contoh 2: Desa Digital yang Hanya di Atas Kertas
-
Program: Desa X di Jawa Barat dinyatakan “bebas kemiskinan” dan mendapat penghargaan desa digital.
-
Fakta Lapangan:
-
Hanya 10% warga yang bisa internetan karena mahalnya paket data.
-
Keluarga Pak Darmo (penghasilan Rp22.000/hari) tidak masuk data miskin, tapi harus meminjam HP tetangga untuk urusan sekolah online anaknya.
-
Rakyat rentan tak terdata – Mereka yang nyaris miskin tidak masuk dalam statistik resmi.
“Kalau angka kemiskinan terlalu rendah, maka rakyat rawan miskin tidak akan terjangkau bantuan.”
— Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta
Kritik terhadap Data BPS: Bukan Hal Baru
Kecurigaan terhadap data resmi Indonesia bukan kali pertama terjadi. Pada 2019, ekonom asing seperti Gareth Leather dari Capital Economics menyangsikan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil di angka 5%, menuding BPS mungkin “memoles” data.
Meski BPS bersikukuh bahwa datanya akurat dan diawasi oleh IMF, kepercayaan publik terus menurun.
Standar Kemiskinan BPS vs Bank Dunia: Beda Jauh!
Indikator | BPS | Bank Dunia (UMIC) |
---|---|---|
Garis Kemiskinan | Rp20.000/hari | US$6,85/hari (~Rp100.000)* |
Jumlah Miskin | 24,06 juta (8,57%) | 171,8 juta (60,3%) |
![]()
“Harga sebutir kelapa saja sudah di atas Rp20 ribu. BPS layak mengevaluasi standar kemiskinannya.”
— Gede Sandra, Ekonom PKR
Dampak Data yang Tidak Akurat
Data statistik yang tidak akurat berdampak pada banyak hal, diantaranya:
Bansos Tidak Tepat Sasaran – Jutaan orang miskin tidak terdata, sehingga tidak mendapat bantuan.
Ketimpangan Dana Daerah – Daerah dengan banyak penduduk miskin tidak mendapat alokasi yang sesuai.
Pembangunan Tidak Nyata – Angka kemiskinan rendah, tapi infrastruktur dan kesejahteraan tidak membaik.
Program Pelatihan Kerja Tidak Menjawab Kebutuhan
Pemerintah meluncurkan program “Kartu Prakerja” dengan target 500.000 peserta dari keluarga miskin. Namun, karena data BPS tidak mencatat keluarga dengan penghasilan Rp22.000/hari sebagai miskin, banyak yang sebenarnya membutuhkan justru tidak eligible.
-
Contoh Realita di Lapangan:
-
Budi (28), lulusan SMA dari keluarga pemulung, ditolak mendaftar Prakerja karena data BPS menyatakan keluarganya “tidak miskin”. Padahal ia butuh skill digital untuk mencari kerja.
-
Kuota pelatihan justru banyak diisi peserta dari kalangan menengah yang ingin dapat sertifikat gratis.
-
Subsidi Listrik Tidak Sampai ke yang Paling Rentan
Contoh:
Pemerintah memberikan subsidi listrik untuk rumah tangga miskin (golongan 450VA). Namun, karena data kemiskinan BPS tidak mencakup keluarga dengan penghasilan sedikit di atas Rp20.000/hari, banyak yang terpaksa memilih:
-
Mengurangi pemakaian listrik hingga hidup dalam gelap setelah jam 8 malam.
-
Menyambung listrik ilegal karena tidak mampu bayar tagihan, berisiko kena denda atau pemutusan.
Kasus Nyata:
Di sebuah desa di Jawa Timur, 70% warga menggunakan listrik “borongan” (satu meter dipakai 5-7 rumah) karena tidak masuk data penerima subsidi.
Dampak:
Program pengentasan kemiskinan menjadi tidak efektif karena salah sasaran.
Kredit UMKM Tidak Tepat Sasaran
Contoh:
Bank pemerintah menyalurkan KUR (Kredit Usaha Rakyat) dengan syarat utama: berasal dari keluarga tidak miskin. Akibatnya:
-
Pengusaha mikro seperti penjual gorengan atau tukang becak kesulitan mengakses modal karena terdata sebagai “miskin”.
-
Yang mendapat kredit justru pelaku usaha kecil yang sudah mapan, karena secara administratif mereka “layak”.
Dampak:
Kesenjangan semakin lebar karena usaha ultra-mikro tidak mendapat pendampingan.
Puskesmas dan BPJS Tidak Menjangkau Kelompok Rentan
Contoh:
-
Seorang ibu hamil di NTT tidak bisa mendapatkan layanan BPJS Kesehatan gratis karena keluarganya “tidak masuk data miskin”, meskipun penghasilan suaminya sebagai buruh harian tidak menentu.
-
Akibatnya, banyak warga memilih tidak berobat atau berhutang ke rentenir saat sakit.
Pendidikan Gratis yang Tidak Benar-Benar Gratis
Contoh:
Program “KIP Kuliah” (Kartu Indonesia Pintar) mensyaratkan peserta berasal dari keluarga miskin versi BPS. Namun:
-
Banyak siswa berprestasi dari keluarga “hampir miskin” (penghasilan Rp25.000/hari) tidak dapat bantuan, karena secara statistik dianggap “cukup”.
-
Mereka akhirnya terpaksa bekerja serabutan daripada kuliah, atau menikah muda karena tidak ada akses pendidikan lanjut.
Fakta Menyedihkan:
Di beberapa daerah, ada “pasar BPJS” ilegal di mana warga membeli kartu BPJS palsu karena tidak memenuhi syarat administrasi.
Akar Masalah: Standar Kemiskinan yang Tidak Realistis
BPS menggunakan garis kemiskinan Rp20.000/hari, yang hanya cukup untuk:
-
1 porsi nasi + telur di warung (Rp15.000)
-
Sisanya Rp5.000 harus mencukupi transportasi, listrik, air, pendidikan, dan kesehatan.
Sementara Bank Dunia menggunakan standar $6,85/hari (Rp100.000) yang lebih realistis untuk memenuhi kebutuhan dasar di Indonesia.
Solusi yang Bisa Diterapkan
-
Revisi Garis Kemiskinan
-
Sesuaikan dengan harga kebutuhan pokok aktual (termasuk biaya pendidikan, kesehatan, transportasi).
-
Gunakan pendekatan multidimensi (akses sanitasi, pendidikan, listrik, dll).
-
-
Data Real-Time dengan Pendekatan Partisipatif
-
Libatkan masyarakat dalam pendataan (seperti metode sensus door-to-door).
-
Gunakan teknologi (big data dari transaksi e-wallet, data kependudukan) untuk lacak kelompok rentan.
-
-
Evaluasi Ulang Program Bansos
-
Prioritaskan bantuan berdasarkan kerentanan, bukan sekadar “garis kemiskinan”.
-
Perluas cakupan penerima untuk menjangkau yang “hampir miskin”.
-
Seruan Evaluasi: Data Bukan Hanya Angka, Tapi Nyawa Rakyat
“Banyak warga dianggap tidak miskin versi BPS, padahal hidup sangat rentan. Pemerintah harus evaluasi total definisi dan metode pengukuran kemiskinan.”
— Achmad Nur Hidayat
Solusi yang Bisa Diterapkan:
-
Pendekatan Multidimensi – Tidak hanya pendapatan, tetapi juga akses air bersih, pendidikan, sanitasi, dan konektivitas digital.
-
Transparansi Metodologi – BPS perlu menjelaskan cara penghitungan secara lebih terbuka.
-
Kolaborasi dengan Lembaga Internasional – Memastikan data sesuai dengan standar global.