OpiniDeli Oleh: Joni Lontong.
Pendahuluan: Dari Korban Jadi Penyerang
Perang dagang yang dimulai oleh Donald Trump pada 2018 awalnya ditujukan untuk “melindungi industri AS” dari dominasi China. Namun, alih-alih menyerah, China justru membalikkan strategi tersebut menjadi senjata mematikan yang secara sistematis menghancurkan pilar-pilar ekonomi AS—mulai dari dirgantara, kendaraan listrik, hingga teknologi chip.
Data menunjukkan bahwa China tidak sekadar membalas tarif, tetapi mengubah struktur perdagangan global, memutus ketergantungan pada AS, dan membangun aliansi baru. Jika AS menyerang dengan tarif, China membalas dengan economic statecraft yang lebih canggih.
1. Boeing: Korban Pertama dalam Perang Dagang
Fakta Keras:
- China sebelumnya merupakan pasar terbesar Boeing di luar AS, dengan proyeksi pembelian 7.000 pesawat senilai $1,1 triliun hingga 2040.
- Setelah tarif Trump, China membatalkan pesanan 113 Boeing 737 MAX (2022) dan beralih ke Airbus (kontrak $18 miliar untuk 150 pesawat).
- Saham Boeing anjlok 37% dalam 5 tahun terakhir, sementara COMAC C919 (pesawat buatan China) sudah mendapat 1.200 pesanan domestik.
Analisis:
China tidak hanya menolak Boeing, tetapi juga menciptakan pesaing baru. AS kehilangan pasar, sementara Eropa (Airbus) diuntungkan. Ini adalah strategi divide et impera: memecah persekutuan Barat.
2. Kendaraan Listrik: AS Tertinggal di Lomba yang Ditentukan China
Fakta Keras:
- China menguasai 60% pasar EV global (BloombergNEF, 2023), dengan BYD dan NIO sebagai pemain utama.
- AS bergantung pada baterai lithium China, yang mengontrol 80% produksi mineral tanah jarang (USGS, 2023).
- Infrastruktur charger China: 1,2 juta unit vs AS 120.000 unit.
Analisis:
Dengan memonopoli rantai pasok baterai dan membangun infrastruktur masif, China membuat produsen AS seperti Tesla terjepit. Tarif Trump justru mempercepat industrial policy China di EV.
3. Chip dan AI: Perang Teknologi yang AS Mulai Kalah
Fakta Keras:
- China menginvestasikan $150 miliar untuk kemandirian chip (SemiAnalysis, 2023).
- Huawei sudah memproduksi chip 7nm (2023), meski diblokir AS.
- Ekspor rare earth China ke AS turun 20% sejak 2020 (US Census Bureau).
Analisis:
AS ingin mematikan Huawei dengan sanksi, tetapi China merespons dengan subsidi besar-besaran untuk SMIC dan perusahaan chip lokal. Jika China bisa produksi chip 5nm, nilai triliunan dolar di Intel dan Qualcomm terancam.
4. Pertanian: AS Kehilangan Pasar, China Bangun Alternatif
Fakta Keras:
- Ekspor kedelai AS ke China turun 50% (USDA, 2023), digantikan oleh Brasil.
- China meningkatkan produksi daging babi domestik, mengurangi impor dari AS.
Analisis:
Petani AS di Midwest (Iowa, Illinois) menjadi korban collateral damage. China dengan cepat menemukan pemasok baru, sementara AS kesulitan mencari pasar alternatif sebesar China.
5. Yuan dan Diplomasi Ekonomi: Senjata Finansial China
Fakta Keras:
- China melemahkan yuan secara terkendali untuk menjaga ekspor tetap kompetitif.
- Inisiatif Belt and Road (BRI) telah menyalurkan $1 triliun investasi ke 140 negara (CSIS, 2023).
Analisis:
Devaluasi yuan membuat produk China lebih murah, sementara BRI memperluas pengaruh ekonomi. AS tidak punya strategi setara—Build Back Better World (B3W) gagal menyaingi BRI.
Kesimpulan: AS Terjebak dalam Perang yang Tidak Bisa Menang
China tidak sekadar membalas tarif, tetapi mengubah peta ekonomi global:
- Memutus ketergantungan pada AS (Boeing, chip, pertanian).
- Menguasai rantai pasok kritis (EV, rare earth).
- Membangun aliansi baru (BRI, kerja sama dengan Rusia-Iran).
AS terjebak dalam paradoks: semakin keras Trump/Biden menekan China, semakin cepat China lari dari ekonomi AS. Jika tren ini berlanjut, dominasi dolar dan teknologi AS bisa benar-benar runtuh dalam 10-20 tahun.
Pertanyaan Terakhir: Jika Boeing sudah tumbang, siapa korban berikutnya? Apple? Tesla? Atau seluruh industri chip AS?
Referensi: Data BloombergNEF, USGS, US Census Bureau, USDA, laporan SemiAnalysis, dan CSIS.