Mari berbicara mulai dari 10 tahun kepemimpinan Joko Widodo, yang mana kita semua bisa mengakses informasinya dengan sangat mudah saat ini. Kita bisa melihat, kabinet Jokowi selama 10 tahun diisi oleh orang-orang partai politik dan orang-orang titipan dari partai politik. Parahnya, pada kepemimpinan Prabowo Subianto nanti, fenomena yang sama akan kembali kita jumpai.
Nah yang jadi pertanyaan, kenapa orang-orang parpol dan titipan parpol mendominasi kabinet kerja Prabowo Subianto?
Jawaban yang paling sederhana yaitu, politik balas jasa. Mereka yang andil dalam kemenangan Jokowi dan Prabowo tentu meminta imbalan, mulai dari jabatan Menteri, Wakil Menteri, hingga Komisaris pada perusahaan milik negara.
Distribusi kekuasaan melalui “wakil-wakil” yang berkepentingan boleh dikatakan sebagai “jalan pengaman” untuk sesuatu yang sudah menjadi incaran. Dalam teori distribusi kekuasaan, menempatkan orang-orang titipan tadi merupakan sebuah cara untuk memastikan bahwa kepentingannya akan tercapai.
Nah yang jadi pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara mengatasi “budaya” bagi-bagi kekuasaan ini?
Reformasi Sistem Pemilihan
Ada satu teori yang sebenarnya bisa mengatasi problema bagi-bagi kekuasaan, yaitu Teori Meritokrasi. Sederhananya, jabatan-jabatan seperti dalam kabinet kerja Presiden diisi oleh orang-orang yang mempunyai kompetensi maupun kapabilitas. Tingkat pendidikan, prestasi, hingga track record yang baik dapat dijadikan referensi dalam pemilihan pejabat tingkat kementerian.
Namun sayangnya, teori ini dianggap sebagai utopia karena untuk mewujudkannya, harus terlebih dahulu menyiapkan keberanian. Kenapa? Karena yang dilawan yaitu para mafia maupun kartel, dan mereka tentu akan menggunakan segala cara agar teori meritokrasi tidak berhasil diimplementasikan. Nah untungnya, ada negara yang dinilai berhasil menerapkan meritokrasi, yaitu Singapura.
Di Singapura, orang-orang yang mempunyai prestasi, yang berhasil membawa ide-ide mereka menjadi sebuah output, akan mendapatkan imbalan berupa jabatan dari pemerintah Singapura. Apa yang diberikan oleh pemerintah Singapura tentu membawa angin segar, sehingga masyarakatnya berlomba-lomba untuk menghasilkan prestasi.
Nah, apakah Indonesia bisa melakukan hal yang sama? Bisa, namun mungkin dalam 20 tahun ke depan. Kenapa? Tingkat literasi serta IQ orang Indonesia terbilang sangat rendah, ditambah dengan korupsi yang sudah membudaya akan menghambat kesadaran masyarakatnya.
Mengubah Budaya di Masyarakat
Dalam kepentingan mengubah nasib bangsa yang sudah sekarat ini, tentu diperlukan upaya untuk mengubah budaya politik KKN menjadi budaya politik yang menghargai kompetensi dan integritas.
Guna mewujudkan hal tadi, diperlukan edukasi publik secara berkelanjutan tanpa terputus sedikitpun. Memang, diperlukan usaha yang sangat keras untuk memberikan edukasi publik tentang bahayanya KKN. Maka dari itu, tadi Saya mengatakan bahwa Indonesia memerlukan waktu setidaknya 20 tahun bahkan lebih agar pola pikir masyarakat menjadi lebih maju.
Karena, seperti yang sudah kita semua sadari bahwa, pemerintah merupakan cerminan dari rakyatnya. Maka dari itu harus ada pemutusan “rantai makanan” dalam budaya di masyarakat agar penyakit KKN sepenuhnya hilang dari Indonesia.
Selain merubah budaya masyarakatnya, pemberian sanksi yang berat bagi pejabat korup juga mutlak diperlukan. Misalkan saja Zulhas yang menjabat sebagai Menteri Perdagangan, ia memuluskan produk impor tekstil asal China yang justru membuat banyak pabrik tekstil nasional pailit. Kebijakan yang merugikan itu harus mendapatkan sanksi yang berat, misal dibuatkan UU Kedisiplinan Pejabat Negara yang berisikan sanksi berupa penjara minimal 5 tahun bagi pejabat yang membuat kebijakan merugikan rakyat.
Revolusi Mental
Pada kepemimpinan Jokowi, ia menekankan tentang revolusi mental namun sayangnya omongan Jokowi tak lebih dari sekedar bualan. Faktanya, hingga hari ini mental pejabat dan rakyatnya semakin amburadul.
8
Pejabat yang terbukti tidak becus kinerjanya bukannya malah mundur dan meminta maaf, justru merasa tidak terima ketika masyarakat menuntut pertanggungjawaban. Misal Budi Arie sebagai Menkominfo, kebocoran data pribadi masyarakat Indonesia merupakan hal yang sangat fatal. Namun apa? Ia justru merasa tidak terima ketika dimintai pertanggungjawaban, parahnya, ia menunjukan sikap menantang atas desakan mundur dari masyarakat.
Revolusi mental sangat diperlukan untuk memperbaiki keadaan negara ini, sehingga Indonesia tidak lagi dijadikan bulan-bulanan cacian oleh negara lain.