“Pernah menunggu berapa lama?”
Aku : Hampir 7 tahun. Tidak mendapat apa-apa, tidak juga menjadi siapa-siapa. Tapi aku tidak pernah menyesal. Sesekali masih bertemu, dan berusaha untuk tidak jatuh cinta lagi. Hehe
Jika kau tidak bisa bersabar lebih lama, tolong, jangan pernah nekat menunggu! Aku tahu rasanya, aku pernah berada pada posisi yang sama. Menunggu sekian lama, bertahan bertahun-tahun tanpa kepastian bukanlah hal yang menyenangkan.
Aku berani mengambil keputusan sebelumnya karena aku sudah mempersiapkan diri dengan semua resiko; resiko paling menyakitkan sekalipun, aku selalu siap. Terkadang, kita memang butuh kekuatan; seseorang yang mampu menguatkan.
Bagiku, tidak perlu kamu ada di sampingku setiap saat, berada di sisiku setiap waktu. Aku bisa melakukannya sendiri. Cukup kau doakan saja aku. Tak apa jika yang kau semogakan adalah agar perasaan ini segera hilang, lenyap dan tak tersisa. Kau berhak melakukan apa pun.
Tapi kau tidak bisa melarangku mencintaimu. Biar saja aku menunggu, soal resiko biar aku saja yang tanggung. Kau berbahagia sajalah, dan aku akan ikut bahagia.
Biarkan saja aku bebal menunggu. Sambil berharap sesuatu yang baik segera dikabulkan oleh Tuhan. Bagiku, mencintaimu adalah sebuah hal yang istimewa. Jadi, biarlah aku menjaga keistimewaan perasaan ini. Hari ini, esok, hingga entah.
Terima kasih telah mengizinkan aku menunggu (karena selama beberapa tahun, kamu tidak pernah menolak jadi anggap saja kamu mengizinkan).
Ini bukan soal waktu, tapi boleh kucukupkan saja? Ah, maaf, memang harusnya sudah sangat cukup bahkan tanpa perlu menunggu, ya? Hehehe.
Aku merasa kamu berhak hidup tanpa ada aku di dalamnya. Meski sebenarnya sejak awal aku tidak pernah ada. Sekali lagi maaf, aku memang terlalu keras kepala.
Cinta tidak bisa dicukupkan, karena bagaimanapun perasaan selalu ingin lagi dan ingin lebih. Tapi, kenyataan tidak bisa dibantah dan Tuhan juga tidak suka rencanaNya tidak diterima.
Kamu sudah cukup untuk aku yang terlalu banyak harap. Semesta sudah sangat baik menuntun setiap langkah agar bisa bertemu atau sekadar melihatmu dari jauh.
Jatuh cinta kepadamu adalah perasaan paling konyol yang sering kunikmati dengan sedih.
Jika ada yang bertanya hari apa yang paling kusenangi, maka jawabanku pasti setiap hari. Waktu magrib. Aku senang kita bertemu, berzikir, berdoa dan mengaminkan doa yang sama. Tapi doa itu bukan tentang kita.
Aku tidak pernah mendapat kesempatan lebih selain memandangmu dari jauh. Dan sekali lagi mungkin, itu sudah cukup.
Aku tidak berani mengatakan bahwa perasaanku selesai, hanya cukup. Cukup yang benar-benar cukup. Sebab mustahil untuk selesai, sementara aku masih sering berdoa agar kita bertemu.
“Setelah bertahun-tahun menunggu, apa yang kamu dapatkan?”
“Kenyataan. Kenyataan bahwa ternyata aku masih mencintainya. Kenyataan bahwa ternyata dia memang terlalu jauh untuk kuraih. Kenyataan bahwa ternyata aku tidak pernah memiliki alasan yang cukup untuk menyerah.”
Surat-surat yang dulu sering aku tulis, yang beberapa di antaranya kamu baca. Pesan-pesan yang selalu lambat kamu balas. Doa-doa yang kita aminkan bersama. Jalanan ke sekolah yang tak banyak berubah. Semua cerita kini tersimpan rapi di kepala. Kamu abadi.
Bukan ceritanya yang belum selesai, tapi aku yang belum ingin selesai mencintaimu.