Jakarta – Biasanya Jokowi selalu menanggapi isu-isu terkini yang ditanya oleh para awak media langsung dengan konsep doorstop. Tapi belakangan muncul kecurigaan bahwa doorstop yang dilakukan Jokowi hanya merupakan gimmick, menyusul popularitasnya yang kian menurun pasca demonstrasi RUU Pilkada dan flexing yang dilakukan keluarganya belakangan ini.
Pada beberapa momen yang ditayangkan oleh Biro Pers Dan Kesekretariatan Istana nampak settingan seolah-olah Jokowi melakukan wawancara doorstop alias wawancara cegat.
Contohnya pada Rabu, (21/08) lalu baik di Instagram @Jokowi dan kanal Youtube Sekretariat negara yang berlatar belakang ruang teratai Istana Bogor, tampak Jokowi menanggapi pertanyaan secara terbatas.
Jika audiens jeli memperhatikan, tampak hanya ada sekitar 3 tangan yang menyodorkan peralatan rekam tanpa branding yang biasanya tampak jika mewakili stasiun atau perusahaan media tertentu.
Disitu hanya ada mikrofon biasa, beberapa smartphone dan alat rekam tanpa ada logo dari media tertentu.
Keanehan lain sebelumnya pernah terjadi pada 12 Juni 2024, saat itu Jokowi menyatakan larangan dan bahaya Judol atau judi online serta pada tanggal 26 Januari 2024 dimana Biro Sekretariat Presiden mengunggah pernyataan mengenai UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Selain itu keanehan lain, tak ada pertanyaan lanjutan yang biasanya menjadi ciri khas wawancara cegat yang biasa dilakukan wartawan ketika mendapatkan kesempatan untuk menodong Jokowi dengan menggali informasi lebih dalam.
Dalam kesempatan lain, Selasa (27/08) unggahan serupa kembali dilakukan oleh Biro Sekretariat Negara dengan tema Jokowi yang dimintai komentar terkait unjuk rasa di gedung DPR yang nyata-nyata para anggota dewan tak menggubris putusan MK.
Mengutip Kompas menanggapi hal tersebut, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan Dr. Emrus Sihombing mengatakan perilaku Presiden Joko Widodo tersebut tak lepas dari penilaiannya atas persepsi publik terhadap dirinya.
Saat ini persepsi publik terhadap Jokowi dalam kondisi negatif pasca pilpres dan menjelang pilkada serentakl 2024.
“Ada perubahan cara komunikasi Presiden Jokowi saat masih merasa mendapat dukungan, dimana pola komunikasinya terkesan lebih informasl dan lebih merakyat. Namun saat merasa tidak mendapat dukungan dari masyarakat, cara berkomunikasinya jadi terlihat kaku dan formalistik dan tertutup,” ujarnya.
Masih menurut Emrus, seharusnya Presiden Jokowi lebih membuka diri ditengah popularitasnya yang kian merosot saat ini.
Segala proses demokrasi yang sedang berlangsung saat ini seharusnya menjadi tanggungjawab Presiden sebagai kepala pemerintahan. Jokowi tak bisa seolah-olah lepas tangan dengan mengatakan menghormati keputusan berbagai pihak.
Apalagi pada saat rencana revisi UU Pilkada, wakil dari Pemerintah juga hadir dan ikut menyetujui ide gila yang dilepaskan oleh anggota DPR yang diinisiasi oleh Sufmi Dasco Ahmad tersebut.