delinews24.net – Istana Kepresidenan melalui Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Muhammad Qodari, membuka data resmi pemerintah mengenai kasus keracunan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Pernyataan ini disampaikan untuk menegaskan bahwa pemerintah tidak menutup mata atas persoalan yang menimpa ribuan penerima manfaat tersebut.
“Masyarakat harus tahu bahwa pemerintah itu tidak buta dan tuli, alias tone deaf,” tegas Qodari di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana, pada Senin (22/9/2025).

Data Terbuka dari Tiga Lembaga
Qodari memaparkan data terbaru dari tiga lembaga terkait:
- Badan Gizi Nasional (BGN): 46 kasus keracunan dengan 5.080 penderita (data per 17 September).
- Kementerian Kesehatan (Kemenkes): 60 kasus dengan 5.207 penderita (data per 16 September).
- Badan POM: 55 kasus dengan 5.320 penderita (data per 10 September).
Data dari elemen masyarakat, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), bahkan mencatat angka lebih tinggi, yakni 5.360 siswa. Qodari menyebutkan, berdasarkan kajian BPOM, puncak kejadian keracunan terjadi pada Agustus 2025 dengan sebaran terbanyak di Jawa Barat. Penyebab utamanya adalah masalah higienitas, suhu pengolahan yang tidak tepat, kontaminasi silang, dan indikasi alergi.
Usulan Perbaikan dari DPR: Serahkan Pengelolaan ke Sekolah
Merespons hal ini, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Yahya Zaini, mengusulkan perubahan mendasar dalam pola pengelolaan MBG. Ia menilai pihak sekolah seharusnya menjadi aktor utama, menggantikan mitra yayasan atau UMKM, untuk menjamin kualitas dan keamanan makanan.
“Mengingat banyaknya kasus keracunan, perlu dipikirkan alternatif MBG dikelola sekolah bersama komite sekolah. Karena akan lebih terjamin higienitas dan keamanannya serta sesuai selera anak-anak sekolah. Mereka sudah paham selera anak-anak sekolahnya,” kata Yahya.
Masalah Lain: Serapan Anggaran Rendah dan Transparansi
Persoalan MBG tidak hanya pada keracunan. Yahya Zaini juga menyoroti serapan anggaran BGN yang sangat rendah, yaitu hanya Rp13,2 triliun (18,6%) dari total alokasi Rp71 triliun hingga September 2025. Padahal, program ini diklaim telah menjangkau 22 juta penerima manfaat di 38 provinsi, sebuah angka yang sulit diverifikasi publik.
Kekhawatiran juga muncul mengenai akuntabilitas. Laporan Transparency International Indonesia menemukan ketidaksesuaian nilai menu dengan anggaran Rp10.000 per porsi. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahkan telah mengancam akan menarik alokasi dana jika serapan tidak membaik hingga akhir Oktober.
Yahya mendesak pemerintah segera memperbaiki tata kelola, membuka kanal pengaduan publik, dan memastikan transparansi anggaran. “Karena transparansi dan akuntabilitas yang lemah, dikhawatirkan akan memperbesar risiko penyalahgunaan anggaran,” pungkasnya.
Dengan dibukanya data oleh Istana, tekanan publik untuk evaluasi total dan perbaikan menyeluruh terhadap program andalan Presiden Prabowo ini diperkirakan akan semakin menguat