Deli Serdang — Menjelang peringatan Hari AIDS Sedunia (HAS) 1 Desember 2025, berbagai data epidemiologi kembali mengingatkan pentingnya memperkuat respon HIV secara lebih terukur, inklusif, dan kolaboratif. Dengan tema nasional “Bersama Hadapi Perubahan: Jaga Keberlanjutan Layanan HIV,” pemerintah didorong untuk mengambil langkah strategis dan berbasis data dalam menghadapi dinamika epidemi HIV di Indonesia.
Tren Nasional: Infeksi Baru Masih Terjadi di Populasi Produktif
Meski telah terjadi penurunan di beberapa wilayah, angka infeksi baru HIV nasional masih didominasi kelompok usia produktif 20–39 tahun. Pola ini menunjukkan bahwa strategi pencegahan belum cukup menjangkau kelompok yang paling aktif dalam dinamika sosial dan ekonomi.
Berdasarkan analisis berbagai laporan kesehatan publik, terdapat tiga faktor utama yang berpengaruh pada peningkatan infeksi baru:
1. Rendahnya pengetahuan komprehensif tentang HIV di masyarakat
2. Stigma tinggi yang menghambat orang melakukan tes HIV secara dini
3. Layanan pencegahan dan pengobatan yang belum merata di tingkat daerah
Ketiga faktor tersebut saling terkait dan memperlambat pencapaian target nasional “Indonesia Tanpa AIDS 2030”.
Stigma Memengaruhi Angka Tes HIV dan Viral Load Suppression
Aktivis HIV, Antono, menyampaikan bahwa stigma masih menjadi variabel tak terlihat yang secara langsung mempengaruhi angka epidemiologi.
“Data menunjukkan banyak orang terlambat mengetahui statusnya. Semakin terlambat seseorang dites, semakin mudah virus menyebar. Stigma memaksa orang menunda atau menolak tes, sehingga angka kasus baru terus bertambah,” ujar Antono.
Menurutnya, angka viral load suppression yang menjadi indikator keberhasilan terapi ARV juga bergantung pada dukungan sosial.
“Obat ARV terbukti berhasil menekan virus hingga tidak terdeteksi. Tapi banyak ODHIV berhenti minum obat karena diejek, dikucilkan, atau ketakutan. Ini bukan masalah medis saja, tapi masalah sosial,” tambahnya.
Analisis: Pemerintah Perlu Mengubah Strategi Komunikasi Publik
Dari sudut pandang kebijakan, pendekatan komunikasi publik terkait HIV masih terfragmentasi. Edukasi sering dilakukan secara sporadis, belum konsisten, dan tidak semua menggunakan pendekatan budaya atau sosial yang tepat.
Pemerintah daerah diminta meningkatkan:
1. Kampanye literasi HIV berbasis data dan bukti ilmiah
2. Pelibatan tokoh masyarakat, keagamaan, dan pemuda untuk menurunkan stigma
3. Kemitraan sistematis dengan organisasi masyarakat sipil (OMS) dan komunitas
4. Monitoring evaluasi layanan HIV secara rutin dan transparan
Kolaborasi Pemerintah – Komunitas: Faktor Penentu
Menurut Antono, OMS dan kelompok komunitas memiliki peran penting dalam menjangkau populasi kunci, meningkatkan angka tes HIV, mendampingi pasien ARV, serta memberikan edukasi yang lebih diterima masyarakat.
“Data sudah jelas: ketika pemerintah bekerja bersama komunitas, angka infeksi baru turun lebih cepat. Komunitas punya kedekatan emosional dan sosial yang tidak bisa digantikan oleh lembaga formal,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa pemerintah daerah perlu melihat komunitas bukan sebagai pelaksana proyek semata, melainkan sebagai mitra strategis jangka panjang.
HAS 2025: Momentum Konsolidasi Kebijakan Berbasis Bukti
Peringatan HAS 2025 bukan sekadar seremoni, tetapi momen penting untuk:
– Mengevaluasi efektivitas layanan HIV
* Mengukur capaian program pencegahan dan pengobatan
– Menguatkan koordinasi lintas sektor
– Mengintegrasikan data lokal dengan rencana aksi daerah
“Jika kita ingin mengurangi infeksi baru HIV secara signifikan, kita harus mengikuti data. Data tidak punya bias. Tetapi kebijakan yang tidak berbasis data dapat menciptakan hambatan baru,” tegas Antono.
Penutup: Jalan Menuju 2030
Dengan analisis data, kolaborasi, dan pendekatan humanis, Indonesia dapat mempercepat pencapaian target “tanpa AIDS 2030”. Namun, menurut para aktivis, hal itu hanya bisa dicapai jika pemerintah dan masyarakat sipil bergerak bersama.













