CERBUNG

Rahasia Dibalik Cadar Istriku #3

×

Rahasia Dibalik Cadar Istriku #3

Sebarkan artikel ini

 

“Bilang aja yang jujur!” desakku.

“Benar itu, Kak?” lirih El. Aku langsung menatap matanya yang tiba-tiba berubah sayu, binar yang tadi terlihat kini padam.

Apa dia bersandiwara?

“Ti-tidak benar, El,” jawab Afif. “Alfath mencintaimu kok, dia selalu memujimu di depan kami. Katanya beruntung mendapatkan kamu.”

Si-al seribu si-al!

“Dasar pengkhianat!” hardikku.

“Ah, kami harus pulang.” Afif langsung menarik tangan Adam yang sejak tadi hanya menjadi penonton.

“Nggak makan malam dulu?” tanya Hanum.

“Nggak, Tante, tadi kami sudah makan di kantor.” Afif melirikku sekilas. “Kami pulang dulu ya Om, Tante, Ray, El.”

“Hati-hati di jalan!” seru Hanum sambil mengurai senyum.

Dasar sok baik.

“Kenapa kalian_”

“Mas, ke kamar sebentar yuk!”

Tanpa permisi, El menyeretku ke kamarku, tak peduli dengan gerutuan bahkan umpatan yang keluar dari mulutku. Bahkan, El langsung mengunci pintu begitu saja. “Maksudmu apa mengaku hamil, huh?” bentakku. “Yang hamil itu Yara, istri keduaku. Kalau kamu memang hamil, berarti kamu selingkuh!”

“El memang nggak hamil.” El berkata dengan sangat santai, terlalu santai menanggapi amarahku yang berkobar. “Tapi anak yang istri simpananmu itu kandung akan menjadi anak El kelak!” tegasnya dengan tatapan nyalang.

Aku terperangah, tak pernah menyangka ternyata El seberani ini.

“Lagi pula Mas Al ini aneh, benci ayahmu karena selingkuh tapi Mas Al sendiri selingkuh.” Aku tidak tahu seperti apa ekspresi El sekarang tapi matanya melemparkan tatapan sinis padaku.

“Aku nggak merasa selingkuh karena pernikahan kita hasil paksaan,” sanggahku. “Aku dan Yara saling mencintai. Hanya dia yang berhak menjadi istriku dan aku akan segera membawanya ke sini.”

“El setuju.”

“APA?” Aku memekik tak percaya, tak sedikit pun terdapat keraguan dalam jawaban El.

“Asal Mas pertemukan El dengan keluarga wanita itu, El ingin melihat seperti apa keluarga wanita pelakor yang berselingkuh dengan suami orang!”

“El_”

“El belum selesai!” El mengangkat tangan yang seketika membuatku bungkam. “Mas Al tidak akan pernah bisa menyingkirkan El gitu aja, bukan karena El ngebet ingin menjadi istri Mas Al tapi El nggak mau Papa kembali terluka karena kelakuan Mas Al. El mau hubungan Mas Al dan Papa baik-baik saja.”

“Alasan konyol!” sergahku.

“Mas?” El menarik tanganku yang langsung kutepis, tetapi dia tak menyerah dan kembali menariknya, lalu menggenggam dengan erat. “El akan pergi dari hidup Mas Al jika Mas Al bersedia memaafkan Papa dan menerima Mama Hanum sebagai ibu. Mereka sangat sayang pada Mas Al.”

Seketika ingatanku berputar pada kejadian 10 tahun yang lalu, tepat sehari setelah kematian ibuku, Papa membawa seorang wanita masuk ke rumah kami dan memperkenalkannya sebagai ibu tiriku. Tentu saja aku sangat marah dan sampai mati pun tak akan mau menerimanya sebagai ibu.

“Nggak sudi aku memaafkan mereka!” Aku mendesis tajam.

“Kalau begitu, Mas Al nggak akan pernah bisa menyingkirkan El.”

“Kamu menantangku?”

El mengangguk tanpa ragu.

“Baik, kamu pasti akan segera angkat kaki dari rumah ini sambil menangis darah. Tunggu saja tanggal mainnya!”

“El akan menunggu dengan sabar kok, Mas, sesabar El menunggu Mas Al mencintai El.” El terkekeh dengan santai yang justru membuatku semakin geram. “Oh ya, Mas Al masih nggak mau melihat wajah El?” El maju selangkah, mempersempit jarak yang ada, dia mendongak hingga tatapan kami beradu. “Mungkin Mas Al akan menyukai El setelah melihat wajah cantik El.”

“Cih! Nggak akan.” Aku mendorong pundaknya hingga dia menjauh. “Seingatku, wajahmu itu jelek, Yara jauh lebih cantik.”

“Oh ya?” El masih meremehkan ucapanku.

“Iya,” sahutku yakin. “Kalau memang wajahmu cantik, lalu kenapa kamu selalu memakai cadar meskipun di rumah? Padahal nggak ada orang di sini selain kita berdua.”

“El tidak akan membuka cadar sampai Mas Al mengatakan ingin melihat wajah El. Mas Al yang harus membuka cadar El.”

Seketika aku tertawa sumbang. Selain pandai bersilat lidah dan bersandiwara, rupanya El juga punya rasa percaya diri yang tinggi.

“Sampai kiamat kurang dua hari pun itu nggak akan terjadi!” tegasku.

“Kalau begitu El masih punya banyak waktu karena kiamat masih lama,” balasnya.

Aku sudah membuka mulut untuk kembali melampiaskan kekesalanku tapi El langsung keluar dari kamar. Sial, ternyata istriku modelan begini.

Tidak bisa ditindas.

 

#bersambung